Caping Gunung Indonesia - Baru – baru ini styrofoam menjadi buah bibir di kalangan khalayak ramai. Awalnya mulai gaduh ketika pelarangan penggunaan berbahan gabus ini dicetuskan oleh Walikota Bandung Ridwan Kamil yang nantinya akan diberlakukan 1 November 2016 mendatang.
Styrofoam merupakan benda yang terbuat dari bahan utama polystyrene, yakni sebuah bahan plastik yang cukup kuat, disusun oleh erethylene dan benzene. Karakteritik barang ini yang ringan, mudah dibentuk, lentur dan relatif murah harganya, menjadikan styrofoam banyak digunakan diberbagai keperluan tidak hanya digunakan kemasan makanan dan minuman saja tetapi juga dipakai sebagai pelindung barang – barang elektronik.
Namun rupanya upaya Emil sapaan akrab Ridwan Kamil, cukup serius untuk menerapkan pelarangan tersebut. Pasalnya Pemerintah Kota Bandung bakal segera membuat surat edaran perihal larangan styrofoam dalam kemasan makanan dan minuman.
“Alternatif itu sebetulnya sudah ada, namun belum jadi budaya karena merasastyrofoam ini mudah di dapat dan harganya murah. Hanya perlu mengubah cara pikir dari yang biasa gampang ke sesuatu yang butuh effort sedikit,” ucap Emil di Balai Kota Bandung, Jalan Wastukancana, minggu lalu.
Emil menjelaskan, aturan larangan penggunaan styrofoam dalam produk makanan hanya bersifat imbauan walikota saja yang mengacu pada Peraturan Daerah K3 (Kebersihan, Ketertiban dan Keindahan) serta Undang-Undang No.32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan.
Dia menerangkan payung hukumnya berupa Perda (K3) dan undang-undang tetapi bentuknya edaran.“Kalau berdebat secara hukum rujukannya ke UU Lingkungan (UU No.32/2009). Seperti kresek berbayar kan hanya imbauan, belum jadi peraturan,” katanya.
Emil mengungkapkan permasalahan sampah di Kota Bandung yang sering membuat mampet dan macet saluran air. Biasanya itu dari styrofoam dan kresek (plastik), maka hal tersebut mesti dikurangi.
Untuk yang sifatnya industri, pihaknya meminta Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH) Kota Bandung segera melakukan sosialisasi sekaligus mengimbau serta mengajak berdialog degan pihak produsen agar beralih dari styrofoam menjadi berbahan karton.
Menurut dia, meskipun hanya bersifat imbauan, penerapan sanksi bagi para pelanggar akan tetap dilakukan.
“Sanksi kita skenariokan tiga kali, pertama berupa teguran – teguran dan terakhir mencabut izin usaha. Walaupun berupa himbauan, kan ada aturan bahwa harus mengikuti norma perilaku bisnis di Kota Bandung,” ucapnya.
Perlu Ada Solusi Lain
Ketua Greeneration Indonesia, M Bijaksana Juneserano, mengapresiasi adanya kebijakan perlarangan styrofoam sebab bisa memangkas permasalahan dari hulu. Dia melanjutkan secara visual styrofoam ini sudah banyak menimbulkan sampah di lingkungan, mulai dari tempat umum, jalan dan di tempat pembuangan sementara yang tersebar di sudut kota.
Dikatakannya, perilaku manusia zaman sekarang lebih menjurus kepada kepraktisan.Styrofoam menjawab itu, sudah harganya murah dan praktis pula. Tentu karena kepraktisannnya tersebut barang – barang seperti ini bersifat masal dengan jumlah yang begitu besar dan ujung – ujungnya akan menjadi sampah.
Dia mencontohkan jenis barang yang mirip dengan styrofoam karena kepraktisannya itu salah satunya popok bayi. “Jaman semakin kekinian dan banyak penemuan hasil teknologi dan banyak juga barang yang memfasilitasi kepraktisan manusia. Itu juga seperti kantong plastik yang praktis sehingga banyak dipakai. Beda dengan jaman dulu, masyarakat masih membawa keranjang,” katanya saat dihubungi Mongabay.
Dia menyesalkan masih buruknya pengelolaan sampah di Indonesia yang berimplikasi terhadap pecemaran dari bahan praktis tersebut. Karena barang tersebut bersifatsingle used product (sekali pakai buang) akibatnya keadaannya menjadi makin kompleks.
“Kita harus melihat dari berbagai sisi. Bahwasanya produk ini menjawab kebutuhan kepraktisan itu dan bagus kalo dari sisi itu.Dari pertumbuhan ekonomi dan lapangan pekerjaan juga bagus sebenernya,” ujar Sano sapaan akrabnya.
Sano menerangkan pelarangan styrofoam merupakan kebijakan yang bagus. Ketika itu dicanangkan, sambung dia, semoga telah dilakukan kajian – kajian secara menyeluruh dan siap dengan konsekuensinya.
Dikatakan Sano, konsekuensi yang akan dihadapi misalnya terjadi penurunan produksistyrofoam. Kemudian para pelaku dunia usaha juga harus menyesuaikan diri dan mencari solusi yang lainnya. Sisi positif dari aspek lingkungan adalah berkurangnya sampah styrofoam itu sendiri.
“Benefit lingkungannya tinggi. Situasi ini bagus sekali mengatasi permasalahan sampah. Namun, dari segi keberlanjutannya kan ada 3 yaitu lingkungan, sosial, ekonomi. Dan ketiganya ini harus menemukan titik yang seimbang,” jelasnya.
Dan apabila kebijakan ini bersifat tetap, kata Sano, ada baiknya pemerintah juga memiliki langkah konservasi dan melakukan pembinaan pihak industri styrofoam itu agar mereka juga punya opsi untuk berpindah ke bisnis yang lebih baik atau melakukan terobosan baru soal kemasan selain styrofoam.
“Styrofoam itu tidak salah sih sebenarnya. Yang salahnya itu yang buang sampah sembarangan. Menurut saya barang itu sifatnya netral. Penggunaan berlebihanlah yang keliru. Perilaku nyampah kita dan manajemen persampahan yang belum benar lah yang menjadi masalah,” papar Sano.
Solusi dari pihak industri styrofaom yang tetap produksi, lanjut dia, perlu dibuatkan sistem pertanggungjawaban seperti pengembalian kembali supaya bahan tersebut bisa diproses ulang.
“Juga harus jadi catatan. Pengusaha juga jangan mau ngambil untungnya saja, tetapi harus punya responsibility dan rasa tanggung jawab terhadap sosial dan lingkungan, misalnya dibuatkan manajemen pengolahan styrofoam sepeti proses pengumpulan hingga sampai daur ulang. Jadi kita harus membangun yang disebut sistem ekonomi yang melingkar,”katanya.
Penurunan Sampah Berbayar
Berdasarkan informasi yang coba dikumpulkan Mongabay, BPLH Kota Bandung telah melakukan kajian penggunaan plastik berbayardan hasilnya telah berkurang sekitar 40% sejak awal ditetapkan.
“Pemerintah sebagai otoritas resmi telah mengeluarkan data tersebut, maka data itu jadi pegangan. Apabila ada pihak yang tidak percaya bahwa data tersebut tidak relevan dan tidak valid mangga atuh di riset supaya data tandingannya bisa keluar,” imbuhnya.
Dikatakan dia melihat dari data tersebut, telah mengalami pengurangan penggunaan plastik.Artinya kebijakaan penggunaan katong plastik itu berpengaruh. Menurutnya sistem kantong plastik berbayar ini adalah sebuah upaya polluter pay principle (Prinsip Pencemar Membayar).
Dia menerangkan sebetulnya uang Rp.200 dari kantong plastil berbayar karena masyarakat lebih memilih menggunaan kantong plastik yang nantinya akan jadi sampah. Angka tersebut mesti digunakanuntuk mendukung upaya manejemen pengolahan sampah agar pencemaran lingkungan bisa diatasi.
“Ini sepeti okelah urang the (saya) nyampah kantong plastik.Tapi ieu aya (ini ada) Rp.200, tolong dong diurusi sampahnya nanti. Pertanyaan sekarang, bagaimana pemerintah mampu membangun regulasi agar tujuan dari Rp200 ini bisa ketemu pada tujuan tersebut,” terang sano.
Dari dana plastik berbayar tersebut, lanjut Sano, bisa digunakan untuk mencegah pencemaran sampah di sungai dan dilaut. Lalu jikalau sudah terlanjur ada di sungai dan di laut, dana tersebut bisa dipergunakan untuk menanggulangi itu.
“Jadi itu sebetulnya dari prinsip pencemaran membayar. Masyarakat tidak dipaksa tapi diberikan pilihan apabila tidak mau bayar ya bawa atuhkeranjang belanja sendiri. Dan kalo tidak mau bawa ya mesti bayar karena plastik ini akan jadi sampah,” tegasnya.
Kejelasan Payung Hukum
Dia mengatakan meskipun sekarang sudah diberhentikan penggunaan katong plastik berbayar karena tidak adanya kejelasan payung hukum. Padahal menurutnya payung hukum merupakan sebuah bentuk kejelasan.
“Kalau saya melihat pihak dari Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Asprindo) maunya aturan ini sama berlaku nasioal. Biar ga bingung merekanya. Di daerah harus sama dan seragam. Sebenernya Asprindo juga bisa mengambil sikap bila peduli lingkungan tidak usah menunggu ada aturanya dulu.Tapi ini merupakan sebuah dinamika dan harus dicarikan solusi terbaiknya dari berbagai pihak,” pungkasnya.
Menganti Dengan Kemasan Lain
Dilain tempat, Astri (34) berprofesi sebagai pedagang jajanan khas Bandung yaitu seblak dan lumpia basah mengaku telah mengetahui imbauan walikota. “Muhun atos nguping teu kenging nanggo styrofoam kanggo ngabungkus emameun (iya sudah mendengar larangan memakai styrofaoam untuk membungkus makanan),” kata dia saat ditemui di warungnya di Jalan Tamansari, Kota Bandung.
Dikatakan dia, setiap hari mampu menjual lebih dari 50 porsi seblak dan lumpia basah. Sekalinya belanja bahan untuk kemasan, dirinya mengeluarkan modal sekitar Rp45.000.
“Untuk bahan pokok mah suka ada yang nganter.Kalo untuk kemasan mah saya beli ke pasar, uang Rp45 ribu itu cukup buat beli sendok plastik, sumpit, mika plastik dan Styrofoam. Styrofoam harganya Rp300 per pieces,” ungkap ibu 4 anak tersebut.
Astri mengatakan banyak pembelinya yang enggan menggunakan styrofoam karena tahu ada zat yang berbahaya. Untuk mengkali hal itu, dia menggunakan kemasan lain seperti plastik untuk membukus jajanan yang berkuah. Sedangkan yang tidak berkuah dirinya memakai mika plastik.
“Sebagai warga yang baik saya akan mengikuti imbuan itu. Tapi mungkin kami pedagang seblak juga bingung soal kemasan yang baik seperti apa. Jika pakai daun pisang itu kadang suka beda suka ada yang komplain juga dan harganya mahal. Harapan saya mah dicarikan solusi yang kiranya sederhana, maksudnya tidak hanya melarang tapi dicarikan juga alternatif yang kongkrit gitu,” katanya sembari tertawa.#Lilis_cgo