Konflik adalah gejala permukaan dari satu fakta mendasar dalam hidup, bahwa semua hal berubah. Perubahan adalah kepastian di dalam hidup, sama pastinya dengan kematian. Bahkan, kematian sendiri adalah bagian dari perubahan. Perubahan memungkinkan yang lama untuk mundur, dan yang baru untuk tampil ke depan. Konflik adalah salah satu pintu menuju perubahan.
Perubahan dan Rekonsiliasi
Hegel, filsuf Jerman, melihat gerak sejarah dunia sebagai gerak dialektika (dialektische Bewegung). Artinya, satu hal akan melahirkan lawannya sendiri. Keduanya lalu berhubungan dan bergesekan, sehingga menghasilkan hal baru yang merupakan “gabungan yang lebih baik” (Aufhebung) dari keduanya. Inilah yang disebut Hegel sebagai sintesis. Gerak dialektika ini terjadi di alam, masyarakat maupun di dalam hidup pribadi.
Marx berusaha mendaratkan pemikiran Hegel tersebut ke dalam kenyataan politik. Masyarakat, baginya, bergerak dengan pola pertentangan kelas (Klassenkampf). Kelas pekerja akan berdiri bertentangan dengan kelas pemilik modal. Dari pertentangan ini, lalu akan tercipta masyarakat tanpa kelas (klassenlose Gesellschaft). Tidak ada kaya dan tidak ada yang miskin.
Namun, harus juga disadari, bahwa setiap konflik selalu membawa korban. Setiap perubahan selalu menghasilkan korban. Mereka adalah orang-orang yang gagal menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru. Tanpa pengelolaan yang tepat, mereka akan menjadi musuh yang akan menghancurkan keadaan yang baru.
Dititik inilah, kita membutuhkan rekonsiliasi (Versöhnung). Rekonsiliasi bisa dimengerti sebagai upaya-upaya untuk menciptakan perdamaian, setelah konflik atau perubahan terjadi. Rekonsiliasi berusaha untuk percaya pada perubahan sebagai keniscayaan hidup (Lebensnotwendigkeit), sambil tetap berfokus pada harkat dan martabat manusia yang menjadi korban dari perubahan tersebut. Dalam arti ini, rekonsiliasi adalah kebutuhan dasar (Grundbedürfnis) semua manusia.
Di dalam penelitian yang saya lakukan di Jerman, saya menemukan beberapa prinsip penting dari rekonsiliasi. Prinsip-prinsip ini bisa diterapkan di berbagai konteks masyarakat. Tentu, keadaan setempat sungguh-sungguh harus diperhatikan. Maka dari itu, di samping prinsip-prinsip rekonsiliasi, kita juga perlu melihat keadaan kultural dan sosial masyarakat setempat sebagai pijakan untuk rekonsiliasi.
Prinsip-prinsip Rekonsiliasi
Prinsip pertama adalah kaitan antara keadilan dan ingatan (zwischen Gerechtigkeit und Gedächtnis). Kerap kali, kita ingin melupakan konflik di masa lalu, karena itu dianggap terlalu menyakitkan. Namun, ingatan akan masa lalu adalah dasar utama untuk rekonsiliasi. Tanpa itu, rekonsiliasi tidak akan mencapai tujuan utamanya, yakni perdamaian.
Dengan ingatan tentang masa lalu, kita lalu bisa bergerak mendorong keadilan. Para korban konflik dan perubahan bisa memperoleh keadilan dari penderitaan mereka. Rasa keadilan yang terpenuhi ini akan menutup dendam dan kebencian yang sebelumnya ada. Ini akan mendorong perdamaian antara berbagai pihak yang sebelumnya berseteru.
Prinsip kedua adalah kaitan antara pengakuan dan distribusi (zwischen Anerkennung und Verteilung). Cerita korban haruslah diakui sebagai bagian dari sejarah masyarakat. Orang-orang yang kalah harus juga memiliki tempat untuk menceritakan kehidupan mereka. Inilah inti dasar dari politik pengakuan dalam konteks rekonsiliasi setelah konflik dan perubahan.
Pengakuan akan penderitaan para korban lalu mendorong proses distribusi kekayaan. Masyarakat kerap kali terdiri dari orang-orang yang memiliki kesenjangan sosial. Yang kuat, pemenang dan yang kaya akan hidup mudah dan berlimpah. Sementara, yang kalah dan miskin akan hidup menderita.
Para korban adalah yang kalah dan miskin. Untuk menjaga keutuhan masyarakat, distribusi kekayaan dari yang kaya ke yang miskin haruslah terjadi. Jumlah dan caranya amat tergantung dari keadaan masyarakat tersebut. Proses ini menunjang terjadinya rekonsiliasi.
Prinsip ketiga adalah reparasi dan pengampunan (zwischen Entschädigung und Verzeihung). Reparasi terkait dengan distribusi kekayaan. Ini memungkinkan korban untuk membangun kembali hidupnya setelah penderitaan di masa lalu, akibat konflik atau perubahan. Namun, reparasi harus juga disertai oleh pengampunan dari kedua belah pihak atas apa yang telah terjadi. Tanpa pengampunan, reparasi tidak ada artinya.
Prinsip keempat adalah keterlibatan dan harapan (zwischen Beteiligungsparität und Hoffnung). Seluruh proses rekonsiliasi haruslah mendorong semua pihak, baik korban, pelaku maupun mereka yang berada di antaranya, supaya bisa menjadi warga yang terlibat aktif di dalam masyarakat. Keterlibatan aktif ini menentukan bentuk masyarakat yang ada. Ini juga menentukan, apakah masyarakat tersebut mampu membawa kesejahteraan pada warganya, atau tidak.
Keterlibatan ini hanya mungkin, jika semua pihak memiliki harapan akan masa depan yang lebih baik. Harapan ini berdiri di atas tonggak reparasi dan pengampunan. Harapan ini menjadi sumber energi untuk gerak politik rekonsiliasi yang memang melelahkan dan membutuhkan waktu. Tanpa harapan akan masa depan yang lebih baik, rekonsiliasi akan menjadi penampakan belaka yang gagal menyembuhkan luka masa lalu.
Prinsip kelima adalah masa lalu dan masa depan (zwischen Vergangenheit und Zukunft). Rekonsiliasi adalah proses yang berayun antara ingatan akan masa lalu dan harapan akan masa depan. Ia adalah masa kini yang berdiri dalam tegangan masa lalu dan masa depan. Ia tidak pernah netral, melainkan selalu dibarengi dengan kepentingan, harapan dan kebutuhan akan perdamaian.
Kelima prinsip ini berpijak satu dasar, yakni kebebasan hati (innere Freiheit). Rekonsiliasi bukanlah proses yang pasti. Bahkan, dalam beberapa kesempatan, proses rekonsiliasi justru melahirkan masalah baru. Kebebasan hati membuat orang tidak lagi terpaku dengan satu tujuan secara fanatik. Ia menjadi terbuka untuk berbagai macam kemungkinan, dan mencoba mengusahakan yang terbaik dari apa yang ada.
Peran Budaya dan Agama
Agama dan budaya setempat juga bisa menjadi daya dorong yang kuat untuk proses rekonsiliasi. Di Indonesia, semua agama besar memiliki ide tentang rekonsiliasi di dalamnya. Rekonsiliasi atas konflik dan perubahan yang ada bukanlah hal asing, melainkan sudah selalu tertanam di dalam budaya Indonesia. Filsafat dasar bangsa kita, Pancasila, sudah selalu mendorong adanya rekonsiliasi antara latar belakang agama dan budaya yang ada, sehingga bisa menciptakan perdamaian.
Contoh paling jelas adalah budaya memaafkan, ketika Lebaran. Keluarga, teman dan kerabat berjumpa untuk meminta maaf dan memaafkan. Segala kesalahan masa lampau yang terjadi diakui dan diampuni. Tradisi semacam ini adalah pijakan yang amat subur untuk rekonsiliasi.
Di dalam agama Katolik, pengampunan adalah bagian dari sakramen. Sakramen adalah tanda kehadiran Tuhan. Jadi, tindak mengampuni adalah tindak ilahi. Manusia yang melakukannya adalah manusia yang hendak menjadi suci di dalam hidupnya.
Dalam Kehidupan
Rekonsiliasi adalah kebutuhan dasar manusia yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Untuk bisa menerima perubahan, orang perlu melakukan rekonsiliasi di dua tingkat, yakni tingkat pribadi dan tingkat sosial. Pada tingkat pribadi, orang perlu berdamai dengan dirinya sendiri. Ia perlu sadar, bahwa ia perlu berubah, supaya bisa terus hidup dan berkembang di dalam keadaan yang baru.
Pada tingkat sosial, orang pun perlu melakukan rekonsiliasi dengan pihak-pihak lainnya. Segala rasa benci dan dendam, akibat peristiwa di masa lalu, perlu untuk dipahami dan kemudian dilampaui. Masa lalu perlu dipikirkan dan dibicarakan secara terbuka dengan melibatkan semua pihak yang terlibat. Semua orang memperoleh tempat untuk bertutur tentang pengalaman dan refleksinya. Pada akhirnya, rekonsiliasi tidak hanya soal perdamaian politik. Ia juga adalah jalan menuju kedamaian hati (Gelassenheit).
Indonesia pasca Pemilu 2014 adalah bangsa yang tengah membutuhkan rekonsiliasi. Berbagai luka masa lalu terangkat, mulai dari peristiwa ’65 sampai dengan tragedi ’98. Dalam konteks ini, kelima prinsip rekonsiliasi haruslah sungguh dipahami, dan kemudian diterapkan di dalam berbagai kebijakan pemerintah. Jika tidak, bahaya perang dan perpecahan menjadi bayang-bayang gelap yang akan terus menghantui… ya.. terus menghantui.
Oleh Reza A.A Wattimena
Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya,
Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya,
Sedang Penelitian di München, Jerman