Sumber,Berita Indonesia
This is default featured slide 1 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
This is default featured slide 2 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
This is default featured slide 3 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
This is default featured slide 4 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
This is default featured slide 5 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
Pelajaran Tersembunyi Di Balik Karnaval 17 Agustus
Sumber,Berita Indonesia
Di Balik mistisnya Magrib Dan Tengah Malam
Beberapa dari kita bahkan hidup dalam ketakutan yang membuat mereka tidak bisa melakukan apapun, ketika maghrib tiba karena terlalu ketakutan pada cerita-cerita yang sering dikisahkan oleh orang tua mereka.
Mungkin selama ini, kita bertanya-tanya setiap mendengar kisah seram, mengapa selalu tengah malam adalah waktu yang mistis? Kenapa bukan di siang hari atau di pagi hari setelah shubuh?
Beberapa dari kita juga sering mendengar nasihat-nasihat dari orang tua yang mengatakan bahwa tidak baik jika kita keluar rumah saat maghrib, karena biasanya akan diganggu oleh jin-jin dan semacamnya. Memangnya jin tidak bisa mengganggu kita di siang dan pagi hari? Kenapa jin memilih waktu maghrib untuk mengganggu kita? Inilah ternyata yang jadi jawabannya:
1.Maghrib (Sekitar pukul 6 sore)
Waktu maghrib dinilai mistis karena ternyata lewat sebuah penelitian, warna yang dikeluarkan oleh alam berubah menjadi spektrum merah. Nah, spektrum ini dinilai sama dengan spektrum cahaya dari jin dan setan-setan semacamnya yang membuat mereka beresonansi dan dikira lebih memiliki kekuatan yang besar dibanding biasanya. Karena hal itu, bukanlah sesuatu yang mengherankan jika orang-orang tua dulu melarang kita untuk bermain di kala maghrib karena takut dibawa oleh hantu-hantu tradisional, karena ternyata memang jam-jam itu adalah jam dimana mereka paling aktif dan memiliki kekuatan lebih besar dibanding kekuatan mereka yang biasanya.
2.Tengah malam
Tengah malam adalah waktu yang mistis, mungkin hal tersebut adalah sesuatu yang juga sudah tertanam di dalam otak kita. Tapi kenapa tengah malam, sekitar pukul 12 ke atas merupakan sebuah hal yang menyeramkan? Kemungkinan besar yang menjadi penyebabnya adalah banyak beredarnya cerita-cerita yang menyeramkan dengan latar waktu tengah malam, yang kemudian menyebar lewat berbagai generasi dan berbagai negara sehingga membuat sebuah persetujuan kolektif dimana jam 12 malam adalah jam yang paling menyeramkan.
3.Ternyata Jam 3 Pagi Juga Merupakan Waktu yang Identik dengan Mistis
Meskipun ada penjelasan kenapa maghrib dan tengah malam identik dengan mistis, tapi ternyata bukan hanya dua jam itu saja yang dinilai mistis, karena ada beberapa orang yang menganggap jam 3 pagi juga sebagai jam yang menyeramkan. Hal ini bermula dari film-film Hollywood yang menyatakan bahwa jam 3 pagi adalah jam yang paling cocok untuk mengusir roh jahat. Pengusiran ini terjadi mengingat jam itu adalah jam yang paling berbahaya karena setan sedang ada dalam posisi terkuat mereka. Belum lagi biasanya jam 3 adalah jam dimana seseorang akan mengalami sleep paralysis. Mitos tentang jam 3 ini menjadi bumbu penyedap yang tepat pada penjelasan kenapa maghrib dan tengah malam identik dengan mistis.#Yunia_Cgo
Sumber, Berita Indonesia
Wujudkan Impian Naik Haji, Dengan Bermodalkan Uang Tabungan Berpuluh - Puluh Tahun
Rosna Sultan Ibrahim, warga belakang Pasar Lasi, Jorong Gobah Ateh, Kenagarian Lasi Mudo, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, merupakan calon jamaah haji tertua di Kabupaten Agam.
Sebagai perajin tikar anyaman, Rosna harus mengumpulkan hasil penjualan kerajinan tikarnya untuk bisa menunaikan ibadah haji.
Menurut Rosna, penghasilan dari usaha kerajinan yang ia lakoni memang tidak seberapa. Namun, ia tetap berusaha sekuat hati agar dapat menunaikan niat sucinya menjalankan rukun Islam kelima.
Rosna mengaku sudah 45 tahun hidup berhemat dan menabung, tepatnya sejak tahun 1970 silam. Baru tahun ini ia bisa melunasi ongkos naik haji dan berkesempatan menunaikan ibadah haji.
Awalnya, Rosna berniat menunaikan ibadah haji bersama sang suami. Namun, Tuhan berkehendak lain. Suaminya terlebih dahulu meninggal dunia.
Ditinggal suami, tidak membuat niat Rosna naik haji luntur. Dia pun terus berusaha bekerja siang dan malam mengayam tikar pandan untuk menghidupi dua orang anaknya yang masih kecil.
Walau hidup pas-pasan, Rosna tetap menyisihkan sebagian rezekinya. Mula-mula, Rosna menitipkan uangnya kepada tukang kredit di kampungnya. Uang yang terkumpul di tukang kredit itulah yang disetor ke bank untuk biaya naik haji.
"Dulu saya menabung uang 10 ribu atau 5 ribu ke tukang kredit, kalau sudah terkumpul 100 atau hingga 300 ribu di tukang kredit itu baru saya antar ke bank, tapi kadang uang yang ditabung itu juga dipakai untuk keperluan lain yang mendesak, seperti keperluan cucu atau untuk tambah modal tikar. Uangnya saya kumpulkan lagi, saya tabung ke bank lagi. Sekarang hati sudah senang karena bisa berangkat haji tahun ini," papar Rosna.
Saat ini, Rosna telah siap berangkat ke Tanah Suci, Rabu (26/8/2015). Nenek ini terdaftar Kloter 5 Embarkasi Padang.#Yunia_cgo
Sumber, Berita Indonesia
Jokowi Tepati Janji Kunjungi Trenggalek Lagi
Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan melakukan kunjungan hingga malam hari di Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur, Selasa, 25 Agustus 2015 hari ini.
Ada tiga tempat yang akan dikunjungi Presiden. Karenanya, ada sebanyak 1.600 personel Polri dan TNI yang disiagakan di lapangan.
"Bapak Presiden dijadwalkan ke Trenggalek untuk meninjau perkembangan pembangunan Bendungan Tugu," terang Kabag Humas Pemkab Trenggalek, Yuli Priyanto di Trenggalek, Senin.
Berdasar jadwal kunjungan kerja yang beredar, Presiden Jokowi direncanakan ke Trenggalek naik helikopter, dan langsung menuju Pelabuhan Prigi.
Usai melihat proyek pelabuhan, Jokowi menuju Kota Trenggalek guna meninjau pembangunan bendungan di perbatasan Trenggalek-Ponorogo.
"Sebelum itu Presiden akan membagikan kartu KIS, KIP dan KKS ke masyarakat miskin di Balai Desa Prambon, Kecamatan Tugu, sebelum melanjutkan kegiatan di Bendungan," terang Kabag Ops Polres Trenggalek, Kompol Sanusi.
Informasi yang beredar, Trenggalek menjadi agenda tujuan tambahan bagi Presiden Joko Widodo.
Sebelum itu, agenda utama Presiden adalah menghadiri Musyawarah Nasional IX MUI di Surabaya, dan pemberian kartu KIS, KIP, dan KKS ke masyarakat Porong.
Sesuai jadwal protokoler, Jokowi yang didampingi Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basoeki Hadimoeljono serta Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa, akan berada di pelabuhan selama 30 menit.
Dari Prigi, rombongan transit ke Stadion Minak Sopal Kota Trenggalek. Kemudian perjalanan berlanjut ke Desa Prambon, Kecamatan Tugu pada pukul 16.30 WIB.
Di Balai Desa Prambon, Jokowi akan membagikan Kartu Indonesia Sehat dan sembako ke masyarakat. Ada sebanyak 800-1.000 warga yang telah disiapkan di sana.
"Kami telah siagakan lebih dari 750 personel, baik dari TNI, Polri, maupun personel lintas departemen, termasuk juga G-Bomb, atau semacam pasukan khusus penjinak bom," ujarnya.
Sanusi menggambarkan, pengamanan. Keselamatan Presiden beserta rombongan dalam kegiatan kunjungan kerja itu dilakukan dalam tiga lapis.
Lapis pertama kekuatan diisi pasukan pengamanan presiden atau paspampres, lapis kedua oleh TNI, dan ketiga oleh aparat kepolisian.
"Semuanya di siagakan sekitar tiga SSK dengan bantuan pasukan Brimob, TNI, Satpol PP, pemadam kebakaran maupun lainnya.
Kunjungan Presiden Jokowi ditutup di Desa Nglinggis, Kecamatan Tugu pada pukul 17.30 WIB. Jokowi akan meninjau mega proyek bendungan yang menelan dana APBN 2015 hingga Rp600 miliar. #Yunia_cgo
SEJARAH TAHUN 1965 YANG TERSEMBUNYI
Oleh Prof. Dr. W.F. Wertheim
Prof. W.F.Wertheim, menetap di Wageningen, Negeri Belanda, pernah menjabat gurubesar pada Rechtshogeschool di Batavia (sekarang FHUI). Sesudah itu, dari tahun 1946 sampai 1972 menjadi gurubesar pada Universiteit van Amsterdam. Dan berikut ini jawaban Prof. Wertheim soal Latief yang ditulisnya dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan sebagai suplemen pada majalah ARAH, No. 1 tahun 1990. Makalah Prof. Wertheim ini pernah disampaikan dalam sebuah ceramah pada tanggal 23 September 1990 di Amsterdam. Selamat membaca, semoga memberi penerangan dan mungkin membangkitkan niat untuk berdiskusi lebih lanjut dalam berbagai net anda!
Gigih Nusantara
Para hadirin yang terhormat!
Saya minta ijin untuk, sebelum mencoba memberi analisa tentang peristiwa 1965, lebih dahulu menceritakan bagaimana terjadinya bahwa saya, walaupun mata pelajaran saya sosiologi, lama kelamaan mulai merasa diri sebagai pembaca suatu detective story yang cari pemecahan suatu teka-teki.
Dalam tahun 1957 saya bersama isteri saya mengajar sebagai guru besar tamu di Bogor. Saya pernah bertemu dengan ketua PKI Aidit dan beberapa tokoh lain dalam pimpinan partai. Aidit menceritakan tentang kunjungannya ke RRC, baru itu; dari orang lain saya dengar bahwa Mao Zedong bertanya pada Aidit: “Kapan kamu akan mundur ke daerah pedesaan?”
Ucapan itu saya masih ingat waktu dalam tahun 1964 saya terima kunjungan di Amsterdam dari tokon terkemuka lain dari PKI, Nyoto, yang pada waktu itu ada di Eropa untuk menghadiri suatu konperensi di Helsinki. Saya mengingatkannya bahwa keadaan di Indonesia pada saat itu mirip sekadarnya kepada keadaan di Tiongkok dalam tahun 1927, sebelum kup Ciang Kaisyek. Pendapat saya ialah bahwa ada bahaya besar bahwa militer di Indonesia juga akan merebut kekuasaan. Saya anjurkan dengan keras supaya golongan kiri di Indonesia mempersiapkan diri untuk perlawanan dibawah tanah, dan mundur ke udik. Jawaban Nyoto ialah bahwa saat bagi militer untuk dapat rebut kekuasaan sudah terlambat. PKI telah terlalu kuat baik dalam badan perwira maupun dalam badan bawahan tentara dan angkatan militer yang lain. Saya tidak berhasil meyakinkan Njoto.
Pagi 1 Oktober ’65 kami dengar siaran melalui radio tentang formasi Dewan revolusi di Jakarta. Sahabat saya, Prof. De Haas menelpon saya dan menyatakan: “Itu tentu revolusi kiri!” Saya menajawab: “Awas, menurut saya lebih masuk akal: provokasi!”. Pada tanggal 12 Oktober kami dengar bahwa Jendral Suharto,yang belum kenal kami namanya, telah berhasil tangkap kekuasaan. De Haas telepon saya lagi, dan mengatakan: “Saya takut mungkin kemarin Anda benar!”
Seminggu sesudahnya saya terima kunjungan dari kepala sementara kedutaan RRC di Den Haag. Ia rupanya memandang saya sebagai ahli politik tentang Indonesia, dan ia hendak mengetahui: “Apa yang sebenarnya situasi politik di Indonesia sekarang?” Jawaban saya ialah: “Tentu Anda sebagai orang Tionghoa dapat mengerti keadaan! Sangat mirip kepada yang terjadi di Tiongkok dalam tahun 1927 waktu Ciang Kaisyek mulai kup kanan dengan tentaranya, dan komunis kalah, di Syanghai, dan lantar di Hankau (Wuhan) dan di Canton (Guangzhou)”. Ia tidak mau setuju.
Di bulan Januari tahun 1966 saya terima dari beberapa rekan yang saya kenal, yang mengajar di Cornell Univesity di A.S., suatu ‘Laporan Sementara’ tentang peristiwa September-Oktober di Indonesia. Mereka sangat menyangsikan apakah peristiwa itu benar suatu kup komunis, seperti dikatakan oleh penguasa di Indoensia dan oleh dunia Barat. Yang terima laporan itu, boleh memakai bahannya (begitu mereka tulis kepada saya), tetapi untuk sementara tanpa menyebut sumbernya, oleh karena mereka masih mencari bahan tambahan, dan meminta reaksi dan informasi lagi.
Dengan mempergunakan bahan dari laporan Cornell itu, saya menulis suatu karangan yang dimuat dalam mingguan Belanda “De Groene Amsterdammer” pada tanggal 19 Februari 1966, dengan judul “Indonesia berhaluan kanan” Dalam karangan itu saya tanya: mengapa di dunia Barat sedikit saja perhatian terhadap pembunuhan massal di Indonesia, kalau dibanding dengan tragedi lain di dunia, yang kadang-kadang jauh lebih enteng daripada yang terjadi di Indonesia baru-baru ini? Barangkali alasannya bahwa pandangan umum seolah-olah golongan kiri sendirilah yang bersalah – apakah bukan mereka sendiri yang mengorganisir kup 30 September dan yang bersalah dalam pembunuhan 6 jendral itu? Maka dalam karangan itu saya mencoba memberi rekonstruksi peristiwa-peristiwa dan menarik kesimpulan bahwa sedikit sekali bukti tentang golongan PKI bersalah dalam peristiwa itu. Saya juga tambah bahwa cara perbuatan dengan menculik dan membunuhi jenderal tidak mungkin berguna untuk PKI – jadi salah mereka tidak masuk akal. Lagi hampir tidak ada persiapan dari golongan kiri untuk menghadapi situasi yang akan muncul sesudah kup. Dalam karangan itu saya juga menyebut kemiripan kepada peristiwa di Shanghai dalam tahun 1927, yang juga sebenarnya ada kup dari golongan reaksioner.
Kesimpulan saya dalam karangan di “Groene Amsterdammer” itu: “Terminologi resmi di Indonesia masih adalah kiri, akan tetapi jurusannya adalah kanan”.
Kemudian, dalam bulan Februari tahun ’67, Mingguan Perancis “Le Monde” mengumumkan wawancara dengan saya. Dalam wawancara saya bertanya: “Mengapa Pono dan Sjam, yang rupanya tokoh penting dalam peristiwa 65 itu, tidak diadili? Dikatakan dalam proses yang telah diadakan, misalnya proses terhadap Obrus Untung, bahwa mereka itu orang komunis yang terkemuka. Apa yang terjadi dengan mereka itu, khususnya dengan Sjam, yang agaknya seorang provokatir, yang pakai nama palsu?”
Mencolok mata bahwa beberapa minggu sesudah wawancaranya itu ada berita dari Indonesia bahwa Sjam, yang namanya sebenarnya Kamaruzzaman, ditangkap. Saya dengar kabar itu di radio Belanda, pagi jam 7. Dikatakan bahwa Sjam itu sebagai seorang Double agent! Saya ingin dengar lagi siaran jam 8 diulangi bahwa Sjam ditangkap, tetapi kali ini TIDAK ditambah bahwa ia double agent! Rupanya dari kedutaan Indonesia ada pesan supaya istilah itu jangan dipakai! Tetapi saya dapat Sinar Harapan dari 13 Maret ’67, dan di sana ada cerita tentang cara Sjam itu ditangkap. Dan judul berita itu: “Apakah Sjam double agent?” Tetapi sesudahnya di pers Indonesia istilah double agent itu tidak pernah diulangi lagi.
Dalam semua proses di mana Sjam muncul sebagai saksi atau terdakwa, Sjam selamanya dilukiskan sebagai seorang komunis yang sejati, yang dekat sekali dengan ketua Aidit. Ia selalu MENGAKU bahwa dia yang memberi semua perintah dalam peristiwa 1 Oktober, tetapi ia selalu tambah bahwa yang sebenanrya memberi perintah itu Aidit yang juga ada pada hari itu di Halim, dan yang sebenarnya menurut Sjam dalang dibelakang segala yang terjadi.
Tentu Aidit tidak dapat membela diri dan membantah segala bohong dari Sjam, oleh karena ia dibunuh dalam bulan November 1965 tanpa suatu proses, ditembak mati oleh Kolonel Jasir Hadibroto. Begitu juga pemimpin PKI lain, seperti Njoto dan Lukman, tidak dapat membella diri di pengadilan. Tentulah segala eksekusi tanpa proses itu membantu Orde Baru dalam menyembunyikan kebenaran. Sudisman diadili, tetapi pembelaannya tidak mendapat kemungkinan untuk mengajukan hal-hal yang melepaskan PKI dari sejumlah tuduhan: ia dipaksa untuk mencoret bagian tentang hal itu dari pleidoinya!
Waktu Sjam kedapatan sebagai double agent yang sebagai militer masuk kedalam PKI untuk mengintai, saya mulai menduga pula bahwa Suharto sendiri mungkin terlibat dalam permainan-munafik. Pada tanggal 8 April 1967 di mingguan “De Nieuwe Linie” dimuat lagi wawancara dengan saya. Dalam wawancara ini saya telah menyebut kemungkinan bahwa “kup” dari 1 Oktober 1965 adalah satu provokasi dari kalangan perwira; dan waktu itu saya telah TAMBAH bahwa Suhartolah yang paling memanfaatkan kejadian-kejadian. Saya mengatakan begitu:
“Aneh sekali: kalau semua itu akan terjadi di suatu cerita detektive, segala tanda akan menuju kepada dia, Suharto, paling sedikit sebagai orang yang sebelumnya telah punya informasi. Misalnya setahun sebelum peristiwa 65, Suharto turut menghadiri pernikahan Obrus Untung yang diadakan di Kebumen. Untung dahulu menjadi orang bawahan Suharto di tentara. Lagi, dalam bulan Agustus tahun 65, Suharto juga bertemu dengan Jenderal Supardjo, di Kalimantan. Dan mereka, Untung dan Supardjo, telah main peranan yang utama dalam komplotan. Aneh lagi, bahwa Suharto tidak ditangkap dalam kup, dan malahan KOSTRAD tidak diduduki dan dijaga pasukan yang memberontak, walaupun letaknya di Medan Merdeka dimana banyak gedung diduduki atau dijaga. Semua militer mengetahui bahwa kalau Yani tidak di Jakarta atau sakit, Suhartolah sebagai Jenderal senior yang menggantikannya. Aneh juga bahwa Suharto bertindak secara sangat efisien untuk menginjak pemberontakan, sedangkan grup Untung dan kawannya semua bingung.” Wawancara itu saya akhiri dengan mengatakan: “Tetapi sejarahpun lebih ruwet dan sukar daripada detective-story”.
Begitulah pendapat saya di tahun 1967.
Tetapi dalam tahun 1970 terbit buku Arnold Brackman, jurnalis A.S. yang sangat reaksioner; judulnya “The Communist Collapse in Indonesia”. Di halaman 100 Brackman menceritakan isi suatu wawancara dengan Soeharto, agaknya dalam tahun 1968 atau 1969, tentang suatu pertemuan Suharto dengan Kolonel Latief, tokoh yang ketiga dari pimpinan kup tahun 65. Isinya:
“Dua hari sebelum 30 September anak lelaki kami, yang umurnya 3 tahun, dapat celaka di rumah. Ia ketumpahan sup panas, dan kami dengan buru-buru perlu mengantarkannya ke rumah sakit. Banyak teman menjenguk anak saya di sana pada malam 30 September, dan saya juga berada di rumah sakit. Lucu juga kalau diingat kembali. Saya ingat Kolonel Latief datang ke rumah sakit malam itu untuk menanyakan kesehatan anak saya. Saya terharu atas keprihatinannya. Ternyata kemudian Latief adalah orang terkemuka dalam kejadian yang sesudahnya. Kini menjadi jelas bagi saya malam itu Latief ke rumah sakit bukan untuk menjenguk anak saya, melainkan sebenarnya UNTUK MENCEK SAYA. Ia hendak tahu betapa genting celaka anak saya dan ia dapat memastikan bahwa saya akan terlampau prihatin dengan keadaan anak saya.
Saya tetap di rumah sakit sampai menjelang tengah malam dan kemudian pulang ke rumah”.
Begitulah kutipan dari buku Brackman tentang wawancaranya dengan Suharto.
“Dua hari sebelum 30 September anak lelaki kami, yang umurnya 3 tahun, dapat celaka di rumah. Ia ketumpahan sup panas, dan kami dengan buru-buru perlu mengantarkannya ke rumah sakit. Banyak teman menjenguk anak saya di sana pada malam 30 September, dan saya juga berada di rumah sakit. Lucu juga kalau diingat kembali. Saya ingat Kolonel Latief datang ke rumah sakit malam itu untuk menanyakan kesehatan anak saya. Saya terharu atas keprihatinannya.
Ternyata kemudian Latief adalah orang terkemuka dalam kejadian yang sesudahnya. Kini menjadi jelas bagi saya malam itu Latief ke rumah sakit bukan untuk menjenguk anak saya, melainkan sebenarnya UNTUK MENCEK SAYA. Ia hendak tahu betapa genting celaka anak saya dan ia dapat memastikan bahwa saya akan terlampau prihatin dengan keadaan anak saya. Saya tetap di rumah sakit sampai menjelang tengah malam dan kemudian pulang ke rumah”.
Begitulah kutipan dari buku Brackman tentang wawancaranya dengan Suharto.
Untuk saya pengakuan ini dari Suharto, bahwa ia bertemu dengan Kolonel Latief kira-kira empat jam sebelum aksi terhadap 7 jenderal mulai, sungguh merupakan ‘rantai yang hilang’ – the missing link dalam detective story. Hal ini dengan jelas membuktikan hubungan Suharto dengan tokoh utama dalam peristiwa tahun 1965.
Tentu Latief, yang pergi ke R.S. Gatot Subroto, yaitu Rumah Sakit Militer, 3 atau 4 jam sebelum serangan terhadap rumah-rumah 7 jenderal mulai, maksudnya untuk menceritakan pada Suharto tentang rencana mereka – tetapi sukar membuktikan itu selama Suharto berkuasa, dan Latief dalam situasi orang tahanan. Hanya satu hal yang kurang terang. Mengapa Suharto menceritakan pada Brackman tentang pertemuan ini? Agaknya ada orang yang memperhatikan kedatangan Latief ke rumah sakit. Oleh karena itu Suharto merasa perlu memberi alasan kunjungan itu yang dalam dipahami: Latief mau periksa apakah Suharto begitu susah oleh karena keadaan sehingga ia tak mungkin bertindak pada esok harinya!
Pengakuan Suharto itu menjadi untuk saya kesempatan untuk mengumumkan karangan di mingguan “Vrij Nederland” pada tanggal 29 Agustus 1970, dengan judul “De schakel die ontbrak: Wat deed Suharto in de nacht van de staatsgreep?” (Rantai yang hilang: apa yang diperbuat Suharto pada malam kup?). Dalam karangan itu saya menguraikan segala petunjuk bahwa Suharto benar terlibat di dalam peristiwa tahun 65. Karangan ini dimuat satu hari sebelum Suharto datang ke Belanda untuk kunjungan resmi – kunjungan yang gagal samasekali.
Karangan yang serupa itu juga saya umumkan dalam bahasa Inggris di dalam majalah ilmiah “Journal of Contemporary Asia” tahun 1979, dengan judul: “Suharto and the Untung Coup: The Missing Link”.
Waktu saya mengumumkan dua karangan itu, saya belum mengetahui bahwa dalam wawancara lain, sebelum bulan Agustus 1970 itu, Suharto sekali lagi menyebut pertemuannya dengan Kolonel Latief itu – tetapi kali ini dengan nada yang sangat berlainan. Wawancara itu dimuat dalam mingguan Jerman Barat, “Der Spiegel”, tanggal 27 Juni, halaman 98. Wartawan Jerman itu bertanya: “Mengapa tuan Suharto tidak termasuk daftar jenderal-jenderal yang harus dibunuh?” Jawaban Suharto yaitu: “Pada jam 11 malam Kolonel Latief, seorang dari komplotan kup itu, datang ke rumah sakit untuk membunuh saya, tetapi nampak akhirnya ia tidak melaksanakan rencananya karena tidak berani melakukannya di tempat umum.” Masa, heran – seolah-olah Kolonel Latief ada rencana untuk membunuh Suharto, 4 jam sebelum aksi terhadap 7 jenderal yang lain akan dimulai, yang tentu berakibat seluruh komplotan akan gagal! Kebohongan Suharto itu suatu bukti lagi bahwa Suharto mau menyembunyikan apa-apa, dan cari akal untuk luput dari persangkaan ia terlibat dalam kup!
Sedangkan tokoh lain dari komplotan, sebagai Obrus Untung, Jenderal Supardjo dan Mayor Sudjono sudah lama terkena hukuman mati dan diekseskusi, Kolonel Latief selama lebih dari 10 tahun tidak diadili. Alasan yang disebut oleh pemerintah, yaitu bahwa ia ‘sakit-sakitan’ dan tidak dapat menghadiri sidang pengadilan. Benar bahwa ia kena luka berat di kaki waktu tertangkap; tetapi kawannya di penjara mengatakan bahwa ia sudah lama dapat menghadap di sidang sebagai saksi atau terdakwa.
Akhirnya, dalam tahun 1978 sidang dalam perkara Latief mulai. Dalam eksepsinya dari tanggal 5 Mei, Latief telah memberi keterangan, bahwa ia besama keluarganya berkunjung di rumah Suharto dengan dihadiri Ibu Tien, dua hari sebelum tanggal 30 September; ia juga menceritakan bahwa ia mengunjungi Suharto pada malam 30 September di Rumah Sakit Militer. Ia menerangkan bahwa ia, Obrus Untung dan Jenderal Supardjo, yang baru pulang dari Kalimantan, bertiga pimpinan militer dari aksi keesokan harinya, berkumpul di rumahnya pada jam 8 untuk berunding. Mereka memutuskan untuk malam itu juga menemui Suharto, untuk memperoleh dukungannya dalam rencana. Latief mengusulkan supaya mereka akan bertiga menghadap Suharto, tetapi Untung tidak berani, dan mereka akhirnya mengutus Latief oleh karena ia yang paling dekat dengan Suharto. Untung dan Supardjo masih punya urusan lain yang penting.
Latief telah menjadi bawahan dari Suharto waktu Jogya diduduki Belanda, tahun 1949. Malahan, menurut keterangan Latief dalam eksepsinya, waktu serangan ke Jogya pada tanggal 1 Maret 1949, dengan Jogya diduduki pasukan Republik selama 6 jam, bukan Suharto yang sebenarnya masuk Jogya melainkan Latief sendiri! Waktu Latief pulang ke komandonya di pegunungan bersama grupnya, Suharto bersama ajudannya sedang makan soto! Pada waktu komando Mandala yang dibawah komando Suharto, Latief menjadi kepala intellijen dari Komando di Makasar.
Dalam eksepsinya Latief dengan terang menjelaskan bahwa waktu ia bertemu dengan Suharto di rumah sakit, ia menceritakan padanya seluruh rencana untuk malam itu. Ia minta pengadilan supaya Suharto dan istrinya akan dipanggil sebagai saksi. Putusan pengadilan: tidak, karena kesaksiannya tak akan ‘relevan’.
Dalam pledoinya yang tertulis Latief mengulangi lebih jelas lagi tentang pembicaraannya di rumah sakit. Dia menerangkan: “Setelah saya lapor kepada Jenderal Suharto mengenai Dewan Jenderal dan lapor pula mengenai Gerakan, Jenderal Suharto menyetujuinya dan tidak pernah mengeluarkan perintah melarang” (hal. 128). Pledoi dan Eksepsi Latief kami punya seluruhnya dalam bahasa Indonesia. Dalam pers Indonesia segala keterangannya tentang pertemuan dengan Suharto itu sama sekali tidak diumumkan dan tidak diperhatikan.
Yang paling mencolok mata, yaitu bahwa Latief tidak dapat hukuman mati, walaupun ia tokoh no. 2 dalam komplotan menculik jenderal. Ia hanya dapat hukuman penjara selama hidup. Mengapa begitu? Untuk saya dari mulanya jelas bahwa keterangan yang lebih sempurna lagi disimpan di suatu tempat DILUAR Indonesia, dengan pesan supaya lantas diumumkan kalau Laatief akan dibunuh! Suharto agaknya takut kalau kebenaran tentang pertemuan dengan Latief akan diumumkan! Dalam otobiografinya ia bohong sekali lagi: ia menceritakan bahwa ia bukan BERTEMU dengan Latief di rumah sakit, melainkan hanya lihat dari ruangan di mana anaknya dirawat dan di mana ia berjaga bersama Ibu Tien, bahwa Latief jalan di koridor melalui kamar itu! Siapa sudi percaya?
Juga aneh sekali bahwa Suharto, menurut keterangannya sendiri, jam 12 malam waktu keluar dari rumah sakit, bukan terus mencoba memberikan tanda berwaspada kepada jenderal-jenderal kawannya yang dalam tempo tiga atau empat jam kemudian akan ditimpa nasib malang, melainkan terus pulang ke rumah untuk tidur!
Hal yang menarik yaitu bahwa Kolonel Latief beberapa waktu silam telah meminta pada Suharto supaya hukumannya dikurangi. Dalam Far Eastern Economic Review dari 2 Agustus tahun ini (1990) diberitahukan bahwa memoirenya disimpan di satu bank – entah di mana.
Jadi, telah agak tentu bahwa Suharto terlibat dalam peristiwa 65 dengan berat. Menurut fasal 4 dari Keputusan Kepala Kopkamtib bertanggal 18 Oktober tahun 1968, dalam Golongan A yang paling berat termasuk semua orang yang terlibat dengan langsung, di antaranya dalam grup itu juga segala orang yang mempunyai pengetahuan lebih dahulu terhadap rencana kup dan yang lalui dalam melapor kepada yang berwajib. Jadi, Suharto pada malam itu seharusnya mesti melapor paling sedikit kepada Jenderal Yani! Dan tentu juga kepada Jenderal Nasution.
Artinya bahwa Suharto jauh lebih jelas ‘terlibat’ dalam peristiwa 1 Oktober ’65 daripada semua korbannya yang selama 10 tahun atau 14 tahun ditahan di penjara atau di kamp konsentrasi seperti di pulau Buru, dengan alasan bahwa mereka terlibat ‘tidak langsung’ dalam peristiwa 30 S!
Artinya bahwa Suharto jauh lebih jelas ‘terlibat’ dalam peristiwa 1 Oktober ’65 daripada semua korbannya yang selama 10 tahun atau 14 tahun ditahan di penjara atau di kamp konsentrasi seperti di pulau Buru, dengan alasan bahwa mereka terlibat ‘tidak langsung’ dalam peristiwa 30 S!
Jadi, sekarang telah jelas bahwa Suharto terlibat oleh karena mempunyai pengetahuan lebih dahulu. Lebih sukar membuktikan, bahwa ia juga aktip dalam suatu PROVOKASI.
Suharto tentu bukan satu-satunya orang yang punya pengetahuan lebih dahulu. Terang bahwa Kamaruzzaman (Sjam) memainkan peran penting sekali dalam provokasi. Ia militer, agaknya dalam Kodam V Jakarta. Tetapi siapa atasannya yang mendorongnya untuk mempersiapkan kup bersama tiga perwira tinggi itu, dengan maksud untuk memkompromitir baik PKI maupun Sukarno? Sekarang saya akan coba memberi analisa yang sedikit mendalam.
Memang ada orang lain yang punya pengetahuan lebih dahulu. Barangkali Sukarno sendiri punya sedikit pengetahuan lebih dahulu. Tetapi tentu ia tidak ingin PEMBUNUHAN jenderal yang dituduhi membangun Dewan Jenderal. Barangkali maksudnya hanya untuk menuntut pertanggungjawaban mereka. Sesudah ia dengar bahwa ada beberapa jenderal yang mati, ia memberi perintah supaya seluruh aksi itu berhenti. Mungkin juga bahwa tiga perwira tinggi itu, Untung, Latief dan Supardjo, bukan menghendaki pembunuhan, melainkan hanya menuntut pertanggungjawaban mereka.
Juga tidak jelas mengapa Aidit, ketua PKI, dijemput dari rumahnya pada malam itu dan diantarkan ke Halim. Rupanya pada saat itu ia punya kepercayaan kepada Sjam. Tetapi kami sama sekali tidak tahu peranan Aidit sesudah ia disembunyikan di rumah seorang bintara di Halim; menurut segala kesaksian ia tidak muncul dalam perundingan-perundingan dan pertemuan-pertemuan, lagi pula tidak bertemu dengan Presiden Sukarno yang juga dibawa ke Halim. Oleh karena ia dibunuh tanpa proses, kami tidak punya keterangan dari dia sendiri – kami hanya punya keterangan dari Sjam yang membohong seolah-olah semua ia, Sjam, berbuat, terjadi atas perintah Aidit. Misalnya dalam proses Latief di tahun 1978 Sjam ‘mengaku’ bahwa bukan Latief, melainkan DIA yang memberi perintah untuk membunuhi jenderal-jenderal yang masih hidup waktu dibawa ke Lubang Buaya – tetapi ia tambah seolah-olah pembunuhan itu juga atas perintah Aidit. Jadi seluruh perbuatan Sjam dimaksud untuk memburukkan nama PKI. Dan suatu alasan mengapa Latief TIDAK dapat hukuman mati, ialah oleh karena ia mungkir bahwa dia yang perintahkan membunuhi jenderal, dan Sjam dalam proses itu mengakui bahwa ia sendiri yang memerintahkannya.
Tetapi segala ‘jasanya’ kepada grup Suharto tidak berguna untuk dia pribadi: beberapa tahun silam ia dieksekusi bersama pembantunya Pono dan Bono.
Agak jelas bahwa pada malam 30 September dua-dua, Sukarno dan Aidit yakin bahwa Dewan Jenderal sebenarnya ada dan bahwa Dewan itu berencana untuk merebut kekuasaan pada tanggal 5 Oktober 1965. Begitu juga grup Untung, Latief dan Supardjo memang yakin bahwa Dewan Jenderal itu memang ada. Dalam prosesnya dalam tahun 1967 Sudisman turut menjelaskan bahwa ia masih yakin tentang eksistensi Dewan Jenderal itu dan rencana mereka.
Dalam tahun 1970 saya juga masih berpendapat bahwa Dewan Jenderal itu benar ADA. Begitu juga pendapat PKI, misalnya dalam otokritik mereka. Tetapi lama kelamaan saya mulai sangsikan apakah dewan itu benar ada dan aktip dalam tahun 1965. Sudah tentu, kalu peristiwa 65 memang suatu provokasi, bagaimana mungkin apa yang dimanakan Dewan Jenderal itu menjadi dalangnya: terlalu aneh kalau orang mengorbankan diri sendiri dengan tujuan politik! Apalagi telah ada cukup tanda bahwa Jenderal Yani agak taat kepada Sukarno.
Pikiran saya berubah sewaktu saya baca sekali lagi keterangan bekas Mayor Rudhito dalam proses Untung. Ia memberi suatu keterangan tentang suatu pita yang ia dengar, dan catatan tentang isinya yang ia terima pada tanggal 26 September 1965 dimuka gedung Front Nasional tentang Dewan Jenderal. Ia terima bukti itu dari empat orang, yaitu: Muchlis Bratanata, dan Nawawi Nasution, dua-dua dari N.U. dan Sumantri Singamenggala dan Agus Herman Simatoepang, dua-dua dari IPKI. Mereka itu mengajak Rudhito akan membantu pelaksanaan rencana Dewan Jenderal.
Di tape itu dapat didengar pembicaraan dalam suatu pertemuan yang diadakan pada tanggal 21 September di gedung Akademi Hukum Militer di Jakarta. Rudhito ingat bahwa ia dengar suara dari Jenderal Mayor S. Parman, satu dari 6 jenderal yang lantas dibunuh pada tanggal 1 Oktober pagi. Parman menyebut, menurut pita dan catatan yang Rudhito dengar dan baca, suatu daftar orang yang harus diangkat sebagai menteri: di antara mereka juga sejumlah jenderal yang lantas diserang dan diculik pada 1 Oktober. Nasution disebut sebagai calon perdana menteri; Suprapto akan menjadi menteri dalam negeri, Yani diusulkan sebagai menteri HANKAM, Harjono menteri luar negeri, Sutojo menteri kehakiman dan Parman sendiri akan menjadi jaksa agung. Ada juga nama lain yang disebut, diantaranya Jenderal Sukendro.
Rupanya tape itu tidak ditunjukkan sebagai bahan bukti pada sidang Obrus Untung; juga di sidang lain tidak muncul. Menurut Rudhito dan terdakwa Untung tape itu juga diserahkan kepada Jenderal Supardjo, yang pada tanggal 29 September baru tiba di Jakarta dari Kalimantan. Supardjo rupanya terus memberikan dokumen itu pada Presiden Sukarno; dan menurut Rudhito dukumen itu juga ada di tangan kejaksaan Agung dan KOTRAR.
Kesimpulan saya: kemungkinan besar bawha tape (yang tidak pernah muncul!) dan teks itu yang diberikan pada Rudhito, suatu pelancungan, pemalsuan. Maksudnya dan akibatnya: ialah sehingga grup Untung, pimpinan PKI dan Presiden Sukarno DIYAKINKAN DAN PERCAYA, bahwa komplotan Dewan Jenderal yang telah seringkali disebut sebagai kabar angin, sebenarnya ADA dengan rencana untuk merebut kekuasaan dari Sukarno dan kabinetnya. Dengan tipu muslihat ini, yang sebenarnya suatu provokasi, baik Sukarno maupun pimpinan PKI, termasuk Aidit, didorongi supaya meneruskan usahanya agar aksi Dewan Jenderal itu pada tanggal 5 Oktober 1965 dapat dihalangi!
Jadi sekarang timbul pertanyaan, golongan mana yang sebagai dalang merencanakan seluruh provokasi itu, dengan mengorbankan jiwa enam atau tujuh jenderal. Untuk saya, pada saat ini, sulit memberi jawaban. Saya sudah lanjut usia. Saya harap dalam ruangan ini barangkali orang Indonesia dapat meneruskan penyelidikan itu untuk mencari jawaban atas pertanyaan yang masih ada. Tentu gampang menyangka bahwa rencana itu tercipta dikalangan militer dan bahwa Kamaruzzaman-Sjam telah memainkan suatu peranan yang berarti dalam hal ini. Sangat mungkin juga, bahwa beberapa perwira agak tinggi dari angkatan udara, seperiti BARANGKALI Obrus Heru Atmodjo, dan sudah tentu Mayor Sujono – yang sebagai saksi dan sebagai terdakwa seringkali memberi keterangan yang tidak masuk akal dan saling bertentangan – pastilah sangat aktip dalam merencanakan seluruh aksi. Sujonolah yang memperkenalkan Untung dan Latief dengan Sjam dan dua pembantuanya, Pono dan Bono. Juga ada kesaksian bahwa yang sebenarnya memberi perintah pada Gathut Sukrisno untuk membunuh jenderal-jenderal dan kapten Tendean yang masih hidup di Lubang Buaya, bukan Sjam melainkan Sujono.
Begitu juga pendapat Dr. Holtzappel yang telah menulis suatu analisa penting tentang peristiwa 1965 dalam “Journal of Contemporary Asia” pada tahun 1979. Pembunuhan yang sengaja itu juga tentu merupakan bagian dari seluruh provokasi terhadap PKI.
Menurut Holtzappel, sebagai DALANG dalam Angkatan Bersenjata barangkali harus dianggap Jenderal Sukendro, pernah kepala military intelligence, dan kolonel Supardjo, Sekretaris KOTRAR yang pernah menjadi pembantu dari Sukendro.
Presiden Sukarno agaknya sangat benar dalam analisa pendeknya, waktu ia membela diri dimuka MPRS dengan keterangan tertulis ‘Nawaksara’ pada tanggal 10 Januari 1967 terhadap tuduhan-tuduhan. Kesimpulannya ialah: “1) keblingernya pimpinan PKI, 2) kelihaian subversi Nekolim, dan 3) memang adanya oknum-oknum yang tidak benar”.
Arti istilah Nekolim pada masa itu ialah: Neokolonialisme, kolonialisme dan imperialisme. Tentu maksudnya Sukarno bahwa ada dalang sebenarnya yang dari luar negeri. Bagaimana dengan Amerika Serikat, dan CIA? Sudah dari awal tahun 50an A.S. campur tangan dengan politik Indonesia. Telah mulai dengan Mutual Security Act dari tahun 1952, yang dahulu ditandatangani oleh menteri luar negeri Subardjo dari kabinet-Sukiman, dan yang lantas dibatalkan. Juga ada campurtangan AS sewaktu pemberontakan Dewan Banteng dan Permesta, dan sesudahnya waktu didirikan PRRI, dalam tahun 57-58. Peter Dale Scott, yang dulu menjadi diplomat dan sekarang guru besar di Universitas California, menulis beberapa karangan penting tentang campurtangan A.S. dalam tahun 60an: dahulu karangannya diumumkan dalam tahun 1975, dan lantas di “Pacific Affairs” tahun 1985: “The U.S. and the Overthrow of Sukarno”. (Ada terjemahan dalam bahasa Belanda yang diterbitkan oleh Indonesia Media).
Dalam tahun 1990 ini seorang ahli sejarah yang saya tidak kenal namanya Brands, menulis seolah-olah sejak permulaan tahun 65 U.S.A. sama sekali tidak campur tangan lagi dalam politik Indonesia; beliau dengar ini dari tokoh CIA – masa dapat dipercaya? Sekarang kita sudah tahu dengan pasti bahwa dari awal Oktober 65 baik kedutaan A.S. maupun CIA sangat campur tangan, misalnya dengan memberi daftar berisi nama 5000 tokoh PKI dan organisasi kiri lain pada KOSTRAD – supaya mereka ditangkap; diplomat dan staf CIA tidak perduli kalau korbannya juga akan dibunuh! Tetapi bagaimana SEBELUM 1 Oktober?
Ada suatu keterangan dari ahli sejarah Amerika yang termasyur: Gabriel Kolko. Ia menulis dalam buku yang diumumkan dalam tahun 1988 (yang judulnya “Confronting the Third: U.S. Foreign Policy 1945-1980”), bahwa semua bahan dari kedutaan A.S. di Jakarta dan dari State Department (yaitu kementerian Luar Negeri) untuk tiga bulan SEBELUM 1 Oktober tahun 1965 sama sekali ditutup, dan tidak boleh diselidiki oleh siapapun juga. Dalam suatu keterangan yang ia tambah dari tanggal 13 Agustus 1990 ia mengatakan bawha ia tidak kenal suatu masa manapun juga di kurun 1945 sampai 1968 yang ditutup dengan rahasia yang demikian untuk menyembunyikan informasi yang sungguh penting. Hal itu sangat aneh, dan menimbulkan persangkaan bahwa ada kejadian yang sangat rahasia yang harus ditutupi. Moga-moga penyelidikan yang sekarang akan dijalankan oleh Congress di Washington tentang daftar yang dibuat sesudah 1 Oktober 1965 oleh suatu tokoh dari kedutaan A.S. di Jakarta, tuan Martens, akan memberi kesempatan untuk anggota Congress supaya menuntut informasi tentang periode tiga bulan itu, dan supaya arsip itu akan ‘de-classified’, jadi akan dibuka untuk diselidiki oleh ahli sejarah dan dunia keilmuan umumnya. Kolko juga memberitahu bahwa Jenderal Sukendro pada tanggal 5 November 1965 minta pertolongan yang tersembunyi dari A.S. untuk menerima pesenjataan kecil dan alat komunikasi yang akan dipakai oleh pemuda Islam (ANSOR) dan nasionalis bagi menghantem PKI. Kedutaan A.S. setuju akan mengirim barang-barang itu yang disembunyikan sebagai obat-obatan (Kolko, hal. 181), dan teks kawat-kawat dari Kedutaan A.S. ke Washington dari 5/11, 7/11, … dan 11/11-65.
Tetapi kita harus insyaf bahwa selain dari CIA badan A.S. masih ada badan intelijens negara lain yang 25 tahun yang silam mungkin berkepentingan dalam menjatuhkan rezim Sukarno: misalnya Pemerintah Inggris, yang pada masa itu masih terlibat dalam pertentangan antara Indonesia dan negeri baru yang didirikan oleh Inggris: Malaysia. Dan lagi negara Jepang mungkin juga harus diperhatikan sebagai calon dalang kejadian itu. Heran bahwa pada tanggal 2 Oktober 1965 hanya ada SATU surat kabar diluar negeri yang tahu siapa Jenderal Suharto dan dapat mengumumkan biografinya: Asahi Shimbun. Jepang lagi banyak mendapat manfaat dalam kerjasama dengan Orde Baru.
Tetapi kita harus insyaf bahwa selain dari CIA badan A.S. masih ada badan intelijens negara lain yang 25 tahun yang silam mungkin berkepentingan dalam menjatuhkan rezim Sukarno: misalnya Pemerintah Inggris, yang pada masa itu masih terlibat dalam pertentangan antara Indonesia dan negeri baru yang didirikan oleh Inggris: Malaysia.
Dan lagi negara Jepang mungkin juga harus diperhatikan sebagai calon dalang kejadian itu. Heran bahwa pada tanggal 2 Oktober 1965 hanya ada SATU surat kabar diluar negeri yang tahu siapa Jenderal Suharto dan dapat mengumumkan biografinya: Asahi Shimbun. Jepang lagi banyak mendapat manfaat dalam kerjasama dengan Orde Baru.
Mengapa masih penting untuk menyelidiki sejarah peristiwa tahun 1965? Saya akan baca pendapat saya yang baru ini saya umumkan dalam pendahuluan saya untuk buku kecil yang berisi sajak dari Magusig O. Bungai. Judul kumpulan sajak itu ialah “Sansana Anak Naga dan Tahun-Tahun Pembunuhan”. Dalam sajaknya Hutan pun bukan lagi di mana rahasia bisa berlindung, Magusig O. Bungai menulis tentang pembunuhan massal antas perintah Stalin:
50 tahun berlalu 50 tahun hutan Katyn menutup rahasia 15.000 prajurit polan dimasakre di tengah rimba 50 tahun kemudian waktu memaksa kekuasaan terkuat membuka suara menutur kebenaran
Menurut saya penting sekali bahwa Magusig mendorong anak-anak negerinya agar mencari kebenaran. Ahli sejarah Abdurahcman Suriomihardjo dalam “Editor” 2 Juni 1990 menulis, bahwa “pembukaan dokumen yang semula rahasia itu sangat membantu rekonstruksi sejarah”.
Akan tetapi duduknya perkara masakre di Indonesia 25 tahun yang lalu agak berlainan dari pembunuhan Katyn yang menimpa 15.000 orang perwira Polandia. Kelainannya ialah oleh karena masakre di Indonesia itu pada hakikatnya tidak ada rahasianya sama sekali. Pembunuhan massal di Indonesia atas tanggung jawab Jenderal Suharto bukanlah suatu rahasia. Si penanggungjawab ini justru terus-menerus bangga akan perbuatannya. Terhadap masakre benar-besaran dalam tahun-tahun pembunuhan sesudah 1965, Suharto tidak pernah memperlihatkan penyesalannya atas pelanggaran hak azasi manusia yang luar biasa itu. Sebaliknya, ia selalu memamerkan dengan bangga tindakannya yang durjana itu. Tentang ini telah terbukti sekali lagi baru-baru ini. Dengan adanya pengakuan pers Amerika Serikat, bahwa staf kedubes Amerika Serikat di Jakarta menyerahkan daftar nama-nama kader PKI dan ormas yang dekat dengannya kepada Angkatan Darat Indonesia agar mereka itu ditangkap dan dibunuh, tidak seorangpun juru bicara pemerintah Orde Baru yang memungkiri telah terjadinya pembantaian massal, ataupun mengucapkan penyesalan mereka terhadap peristiwa yang terjadi 25 tahun yang lalu itu. Mereka ini cukup berpuas diri dengan penegasan pengakuan: bahwa militer Indonesia sama sekali tidak perlu menerima daftar tersebut dari pihak asing, oleh karena mereka sendiri cukup mengetahui siapa-siapa kader-kader PKI!
Juga di dalam otobiografinya, Suharto sama sekali tidak menunjukkan tanda, bahwa ia menyesali terhadap jatuhnya korban rakyat sebanyak setengah atau satu juta. Justru sebaliknyalah, terhadap prajurit-prajurit pembunuh pun ia tidak mencela perbuatan mereka. Misalnya dalam hal kolonel Jasir Hadibroto, dalam “Kompas Minggu”, 5 Oktober 1980 ia menceritakan pengakuannya kepada Suharto, yaitu bahwa ia telah membunuh ketua PKI DN Aidit tanpa keputusan pengadilan. Dengan jalan demikian Aidit tidak bisa membela diri di depan sidang pengadilan, dan karenanya pula penguasa dengan leluasa dapat menyiarkan ‘pengakuan’ Aidit yang palsu. Kolonel ini justru dihadiahi Suharto dengan kedudukan sebagai gubernur Lampung. Dalam hal ini tentu saja Suharto sendirilah yang bertanggungjawab. Karena pembunuhan itu hanya terjadi sesudah Jasir Hadibroto menerima perintah dari Suharto yang, menurut Jasir, mengatakan: “Bereskan itu semua!”.
Masih cukup banyak hal yang harus dibukakan di depan mata seluruh rakyat Indonesia. Sejarah peristiwa 1965 dan lanjutannya, seperti yang tertera didalam tulisan resmi para pendukung Orde Baru, seluruhnya harus ditinjau kembali dan dikoreksi. Misalnya tentang pembunuhan terhadap para anggota PKI atau BTI (Barisan Tani Indonesia) yang selalu dibenarkan dengan dalih, seakan-akan mereka dibunuh karena “terlibat dalam Gestapu/PKI 1965”. Barangkali benar, ada beberapa kader PKI yang telah ikut memainkan peranan dalam peristiwa 1 Oktober 1965 itu. Tetapi bisakah ratusan ribu kaum tani di Jawa dituduh terlibat dalam peristiwa penyerangan terhadap 7 orang jenderal pada pagi-pagi buta 1 Oktober 1965 saat itu di Jakarta? Dari berita “The Washington Post” 21 Mei 1990 menjadi jelas, bahwa sejak semula Suharto telah berketetapan hati untuk menghancur-leburkan PKI. Dalih umum yang dikemukakan oleh Mahmilub atau pengadilan semacamnya adalah bahwa semua anggota atau simpatisan PKI ‘terlibat dalam peristiwa G30S-PKI’. Dalih demikian pulalah yang dipakai pemerintah untuk membenarkan pembuangan tanpa pemeriksaan pengadilan lebih dari 10.000 orang yang dipandang sebagai simpatisan gerakan kiri ke Pulau Buru, yang pada umumnya selama 10 tahun lebih. Mereka itu dianggap sebagai ‘terlibat secara tidak langsung dalam Gestapu/PKI’. Lalu, siapakah yang terlibat langsung? Yang betul-betul terlibat LANGSUNG adalah seorang yang paling memperoleh untung dari kejadian itu, tak lain tak bukan ialah Jenderal Suharto sendiri.
Semua bahan-bahan itu tentu sangat penting untuk meninjau kembali sejarah peristiwa 1 Oktober 1965.
Ada beberapa hal lagi yang perlu diterangkan. Di tengah-tengah terjadinya pembantaian massal terhadap orang-orang yang dianggap PKI di Jawa Tengah dan Jawa Timur, sejumlah kader PKI yang berhasil terluput dari malapetaka berhasil mendapatkan tempat berlindung di daerah pegunungan di Kabupaten Blitar Selatan. Di sini mereka hidup bersatu dengan kaum tani miskin setempat, sehingga untuk sementara mereka berhasil membangun lubang perlindungan untuk menyelamatkan jiwa mereka. Akan tetapi pada 1968 tentara dengan operasi Trisula menghancurkan tempat perlindungan ini, dan menangkap serta membunuh sebagian besar mereka itu.
Dalam tahun 70an ‘tokoh-tokoh Blitar Selatan’ ini dihadapkan ke muka pengadilan. Di pengadilan umumnya mereka tidak dituduh ‘terlibat persitiwa G30S/PKI’. Jelas, bahwa pengadilan tidak bisa membuktikan ‘keterlibatan’ demikian. Maka merekapun lalu dituduh sebagai ‘subversi’, yang sejak 1963 juga bisa mengakibatkan jatuhnya hukuman mati bagi siterdakwa. Ini berarti, bahwa pada hakikatnya mereka dituduh subversi untuk kebanyakan dijatuhi hukuman mati, semata-mata karena mereka berusaha menyelamatkan diri dari pembunuhan massal yang sama sekali haram itu. Rencana pembunuhan massal ini ternyata akhirnya terbukti jelas oleh siaran pengakuan-pengakuan di dalam pers Amerika Serikat tersebut di atas.
Tokoh-tokoh seperti Munir, Gatot Lestaryo, Rustomo dan Djoko Untung tewas dieksekusi dalam tahun 1985. Tapi pada saat inipun masih ada empat tokoh lagi, yang semuanya berasal dari peristiwa Blitar Selatan itu, yang diancam oleh pelaksanaan eksekusi. Penting sekali bagi dunia luar agar berusaha dengan segala daya untuk menyelamatkan jiwa Ruslan Wijayasastra, Asep Suryaman, Iskandar Subekti dan Sukatno – dan lebih dari itu untuk menyelamatkan jalannya kebenaran sejarah. Untuk ini penelitian kembali sejarah tahun-tahun 1965 dan seterusnya merupakan sarana dan wahana pertolongan satu-satunya.
Ada sebuah kewajiban lagi yang penting, yaitu meneliti kembali duduk perkara Gerwani di dalam peristiwa 1 Oktober 1965. Dari semula penguasa menuduh gadis-gadis Gerwani di Lubang Buaya berbuat paling keji dan tak tahu malu. Melaui media pers bertahun-tahun disiarkan, seolah-olah mereka dihadirkan di sana oleh PKI untuk melakukan upacara ‘harum bunga’ sambil menari-nari lenso untuk mengantar jiwa jenderal-jenderal itu, melakukan perbuatan-perbuatan tak senonoh, dibagi-bagikan pisau silet, dan lantas ikut ambil bagian dalam perbuat jahat serta menyiksa jenderal-jenderal itu sebelum mereka tewas. Sebagai akibat dari cerita-cerita demikian terbentuklah bayangan, seakan-akan Gerwani adalah perkumpulan perempuan lacur, jahat dan bengis yang harus dihinakan dan bahkan dibinasakan.
Cerita-cerita demikian sebenarnya tidak terbukti. Tidak pernah ada suatu proses, di mana dakwaan demikian bisa dibenarkan. Seorang saksi dalam sidang yang, menurut Sudisman ‘terbuka tapi tertutup’ dan ‘serba umum tapi tidak umum’, bernama Jamilah dan yang mereka gunakan sebagai dasar bangunan dongengan itu, adalah soerang perempuan bayaran belaka. Beberapa tahun yang lalu Profeosr Benedict Anderson, di dalam majalan ilmiah “Indonesia”, memuat keterangan resmi dari lima dokter yang memeriksa mayat-mayat para jenderal itu sesudah diangkat dari Lubang Buaya. Jauh sebelum itu, keterangan resmi para dokter ini pun telah diumumkanoleh Sukarno di depan sidang kabinet, sengaja untuk membantah dongengan yang beredar saat itu, yang antara lain mengatakan bahwa mata para jenderal itu telah dicungkil dan bahwa kemaluan mereka dipotong-potong sebelum ditembak mati. Keterangan dokter-dokter resmi itu ringkasnya mengatakan, bahwa tiddak ada tanda penyiksaan pada korban, dan tidak sebiji matapun dicungkil sebelum mereka dibunuh.
Penting sekali membersihkan Gerwani dari tuduhan yang tidak adil itu. Terutama sangat perlu, oleh karena sebelum 1965 Gerwani sangat aktif dalam membela dan memperjuangkan hak-hak perempuan. Seperti diketahui, sejak Orde Baru berkuasa semua perjuangan untuk kepentingan perempuan melalui pergerakan yang bebas dan mandiri, dianggap oleh penguasa sebagai kegiatan yang harus diharamkan dengan mengingat kepada ‘perbuatan Gerwani’ dalam akhir taun 1965 itu.
Ada satu tuduhan lagi yang harus dibantah. Dari sejak awal telah disiarkan cerita, bahwa seolah-olah di rumah-rumah orang PKI terdapat (kecuali cungkil mata dan kursi listrik) daftar nama-nama orang yang memusuhi komunisme, dan yang harus dibinasakan sesudah PKI beroleh kemenangan dengan gerakannya di akhir 1965 itu. Tidak selembar daftar seperti itu bisa dipertunjukkan di pengadilan manapun. Sekaranglah, sesudah adanya pengakuan pers Amerika Serikat itu, kita ketahui bahwa sesungguhnya daftar orang-orang yuang harus dibinasakan itu memang ada. Tetapi, inilah bedanya, daftar yang ada justru bukan daftar bikinan komunis, melainkan daftar yang diberikan oleh Kedubes Amerika Serikat kepada Suharto yang memuat ribuan nama komunis Indonesia yang harus dibunuh!
Dongeng ini seperti dongeng tentang maling yang teriak “Tangkap Maling!”
Penting sekali kesadaran dibangun kembali: Bahwa sebelum 1965 PKI merupakan kekuatan yang patut dibanggakan, oleh karena banyak hal yang telah berhasil dicapai oleh partai dan gerakannya itu. Di dunia Barat sekarang timbul kecenderungan anggapan, bahwa komunisme, dan bahkan sosialisme, telah gagal sebagai ideologi. Kesimpulan seperti ini salah sama sekali! Yang gagal adalah SEJUMLAH PEMERINTAH yang dikuasai oleh berbagai partai komunis. Yang terbukti gagal adalah, bahwa sistem diktatorial tanpa cukup peranan dari rakyat bawah tidak bisa bertahan dalam jangka panjang.
Jadi, untuk Indonesia, kegagalan seperti itu hanya bisa berlaku bagi rezim Suharto. Rezim Suharto pada hakikatnya juga merupakan suatu sistem diktatorial, dengan berbedak demokrasi yang semu belaka. Tetapi sebaliknya, baik ideologi maupun praktek, komunis di Indonesia sama sekali tidak mengalami kegagalan. Ia hanya ditimpa oleh malapetaka dan penindasan secara perkosa, yang ditolong oleh kekuatan anti komunis luar negeri.
Tentu saja ada sementara tokoh komunis yang, dalam menghadapi keadaan xbaru dan sangat sulit pada tahun-tahun 60an, melakukan kesalahan penting. Dalam hal ini tentu saja sangat perlu adanya otokritik yang mendalam. Tetapi cukup alasan bagi setiap penganut ideologi kiri untuk mencamkan kata-kata penulis kumpulan puisi itu, yaitu agar ‘mulai menghargai harkat diri’ dan memulihkan perasaan bangga diri.
Terima kasih!
Dikutip dari : mediakrasi.com
Sumber: Warta Indonesia
Keramat Beji (Bedji) Kebon
Realita, Mistik, dan Keterkaitannya dengan
The Peasant’s Revolt of Banten in 1888
Rutsan : “Ya. Memang masih ada. Tapi nampaknya sudah tidak terlalu besar”.
Edy : “Apakah negatif?”
Rutsan : “Tidak”.
Edy : “Bagaimana dengan cerita orang-orang bahwa di sini ada masjid gaib?”
Rutsan : “Ya. Memang ada. Sekitar sebelah utara gubuk di bawah/dalam tanah. Masjid itu sangat besar”.
- Kembang Wungu
Pencahar, peluruh air seni, anti radang.
Pencahar : biji kembang wungu kering sebanyak 10 gram dicuci, direbus dengan 200 ml air sampai air rebusan tinggal setengahnya, setelali dingin diminum sekaligus, jangan digunakan bersama buah Croton tiglium.
Biji dan daun kembang wungu mengandung alkaloid dan saponin, di samping itu bijinya juga mengandung anfrakinon sedangkan daunnya mengandung polifenol. (Sumber: http://www.herbalisnusantara.com/tanamanobat/5-075.pdf)
Punya Mimpi dan Berusaha Mewujudkannya. Kembang atau bunga menggambarkan sesuatu yang indah, impian hidup yang indah / mulia. Wungu bahasa Jawa, dalam bahasa Indonesia dapat diartikan bangun. Bangun dari tidur, belajar, berusaha, bekerja, pantang menyerah dalam rangka meraih mewujudkan mimpi menjadi sebuah kenyataan.
- Ringin
Mau bekerjasama, duduk bersama bermusyawarah, gotong-royong, bahu-membahu, guyub-rukun, setia kawan, merasa senasib seperjuangan. Lebih jauh mau berinteraksi dengan sesama makhluk lainnya. Bagaimana kita sebagai makhluk Tuhan yang sempurna bisa menghargai makhluk lain, menempatkan diri bukan dalam arti menghamba pada makhluk lain, penghambaan yang benar hanyalah kepada Tuhan.
- Jambe
Belum pernah ada pohon Jambe/Pinang memiliki cabang. Jika ada, itu berarti tidak wajar atau tidak nomal. Begitulah gambaran pohon jambe bagaimana semestinya makhluk terhadap Tuhan (Alloh), selalu mengesakan-Nya. Jika ada makhluk menuhankan selain dari pada-Nya, itu artinya sedang sakit (tidak wajar / tidak normal layaknya jambe yang bercabang) karena itu tidak harus dibenci tetapi perlu dibantu dicarikan obat / solusinya.