Caping Gunung Indonesia - Hingga kini, telah ada 9 pendaki tewas di Gunung Everest pada musim pendakian 2019. Itu dikarenakan kondisi yang berubah mematikan.Yang terbaru, seorang pendaki asal Inggris baru-baru ini meninggal di Gunung Everest. Sebelumnya, ia memperingatkan akan adanya kepadatan area puncak di Instagram.
Rabu (29/5/2019), adalah Robin Haynes Fisher yang meninggal karena penyakit ketinggian. Ia meninggal di ketinggian 8.600 mdpl, ketika turun dari puncak pada hari Sabtu, 25 Mei."Saya berharap untuk menghindari puncak keramaian dan sepertinya sejumlah tim akan ke puncak pada tanggal 21," tulisnya dalam sebuah postingan di Instagram pada 13 Mei.
"Dengan hanya satu jalur menuju puncak, penundaan ke puncak karena kepadatan bisa berakibat fatal, jadi aku berharap keputusanku untuk ke puncak tanggal 25 akan berarti lebih sedikit orang yang ke sana. Kecuali semua orang menunggu di hari yang sama denganku," imbuh dia.
Dimulai 20 Mei, kerumunan pendaki terjebak dalam antrean ke puncak, itu di atas kamp tertinggi, yakni di 8.000 mdpl. Puncak Gunung Everest adalah 8.848 mdpl, di mana di ketinggian tersebut di setiap napasnya hanya mengandung sepertiga oksigen.
Kebanyakan orang hanya dapat bertahan beberapa menit saja di puncak tersebut tanpa bantuan tabung oksigen tambahan. Itulah zona kematian.
Pemandu gunung Adrian Ballinger mengatakan bahwa kondisi cuaca selama musim ini memang tergolong sulit dan menyebabkan kepadatan. Masalah itu diperburuk oleh kurangnya pengalaman di antara beberapa tim pendakian.
Ballinger mengatakan bahwa pendaki yang mati karena kelelahan. Biasanya mereka juga mati karena kehabisan pasokan oksigen karena terlalu lama di tempat yang sangat tinggi."Kematian ini sepenuhnya bisa dicegah. Mereka juga kurang persiapan di musim dengan cuaca yang sulit," katanya.
Pada 2018, pakar medis Sundeep Dhillon menjelaskan bahwa bahaya terbesar di ketinggian adalah ketika pendaki memperlakukan puncak sebagai titik akhir perjalanan. Menurut perkiraannya, Anda hanya memiliki peluang hidup satu dari 10 saat perjalanan turun."Orang-orang sangat mampu berada di luar kemampuannya hingga berada di ketinggian ekstrem. Namun, ada yang lupa bahwa mereka berada di Zona Kematian," katanya.
Pemandu pendakian Nepal Dhruba Bista jatuh sakit di Gunung Everest dan diangkut dengan helikopter ke base camp, di mana ia meninggal Jumat. Pendaki Irlandia Kevin Hynes (56) meninggal Jumat pagi di sisi Tibet di tendanya pada ketinggian 7.000 mdpl.
Dua pendaki meninggal Rabu setelah turun dari puncak, yakni pendaki asal India, Anjali Kulkarni (55) dan pendaki Amerika Donald Lynn Cash (55). Lalu ada Kalpana Das (49) dan Nihal Bagwan (27), keduanya dari India yang juga meninggal di Gunung Everest pada Kamis setelah mereka kembali dari puncak.
Ravi (28), seorang pendaki asal India meninggal pada 17 Mei. Pekan lalu, pencarian pendaki Irlandia Seamus Lawless (39) dibatalkan, setelah profesor Trinity College Dublin jatuh saat turun dari puncak. Dia diduga mati. Pada 2018, total lima pendaki meninggal sementara enam pendaki meninggal pada 2017 dan 2016.
Lebih dari 200 pendaki gunung tewas di puncak Gunung Everest sejak 1922, ketika kematian pendaki pertama dicatat. Mayoritas mayat diyakini masih terkubur di bawah gletser atau salju. #nurul_cgo
Rabu (29/5/2019), adalah Robin Haynes Fisher yang meninggal karena penyakit ketinggian. Ia meninggal di ketinggian 8.600 mdpl, ketika turun dari puncak pada hari Sabtu, 25 Mei."Saya berharap untuk menghindari puncak keramaian dan sepertinya sejumlah tim akan ke puncak pada tanggal 21," tulisnya dalam sebuah postingan di Instagram pada 13 Mei.
"Dengan hanya satu jalur menuju puncak, penundaan ke puncak karena kepadatan bisa berakibat fatal, jadi aku berharap keputusanku untuk ke puncak tanggal 25 akan berarti lebih sedikit orang yang ke sana. Kecuali semua orang menunggu di hari yang sama denganku," imbuh dia.
Dimulai 20 Mei, kerumunan pendaki terjebak dalam antrean ke puncak, itu di atas kamp tertinggi, yakni di 8.000 mdpl. Puncak Gunung Everest adalah 8.848 mdpl, di mana di ketinggian tersebut di setiap napasnya hanya mengandung sepertiga oksigen.
Kebanyakan orang hanya dapat bertahan beberapa menit saja di puncak tersebut tanpa bantuan tabung oksigen tambahan. Itulah zona kematian.
Pemandu gunung Adrian Ballinger mengatakan bahwa kondisi cuaca selama musim ini memang tergolong sulit dan menyebabkan kepadatan. Masalah itu diperburuk oleh kurangnya pengalaman di antara beberapa tim pendakian.
Ballinger mengatakan bahwa pendaki yang mati karena kelelahan. Biasanya mereka juga mati karena kehabisan pasokan oksigen karena terlalu lama di tempat yang sangat tinggi."Kematian ini sepenuhnya bisa dicegah. Mereka juga kurang persiapan di musim dengan cuaca yang sulit," katanya.
Pada 2018, pakar medis Sundeep Dhillon menjelaskan bahwa bahaya terbesar di ketinggian adalah ketika pendaki memperlakukan puncak sebagai titik akhir perjalanan. Menurut perkiraannya, Anda hanya memiliki peluang hidup satu dari 10 saat perjalanan turun."Orang-orang sangat mampu berada di luar kemampuannya hingga berada di ketinggian ekstrem. Namun, ada yang lupa bahwa mereka berada di Zona Kematian," katanya.
Pemandu pendakian Nepal Dhruba Bista jatuh sakit di Gunung Everest dan diangkut dengan helikopter ke base camp, di mana ia meninggal Jumat. Pendaki Irlandia Kevin Hynes (56) meninggal Jumat pagi di sisi Tibet di tendanya pada ketinggian 7.000 mdpl.
Dua pendaki meninggal Rabu setelah turun dari puncak, yakni pendaki asal India, Anjali Kulkarni (55) dan pendaki Amerika Donald Lynn Cash (55). Lalu ada Kalpana Das (49) dan Nihal Bagwan (27), keduanya dari India yang juga meninggal di Gunung Everest pada Kamis setelah mereka kembali dari puncak.
Ravi (28), seorang pendaki asal India meninggal pada 17 Mei. Pekan lalu, pencarian pendaki Irlandia Seamus Lawless (39) dibatalkan, setelah profesor Trinity College Dublin jatuh saat turun dari puncak. Dia diduga mati. Pada 2018, total lima pendaki meninggal sementara enam pendaki meninggal pada 2017 dan 2016.
Lebih dari 200 pendaki gunung tewas di puncak Gunung Everest sejak 1922, ketika kematian pendaki pertama dicatat. Mayoritas mayat diyakini masih terkubur di bawah gletser atau salju. #nurul_cgo
Sumber, Berita Indonesia
0 comments:
Posting Komentar