Melihat ada orang peduli, merawat pohon lokal untuk tetap hidup, senangnya tak terkira. Tapi jangan hitung-hitungan. Pernah ada yang minta 100 pohon/bibit. Tapi belum-belum bilangnya rugi karena harus keluar bensin untuk ambil pohon tersebut. Pemilik nama lengkap Hasanudin ini pun selalu menolak jika diberi timbal balik materi. Ia tak suka dengan pola pikir materialistis, jika sudah menyangkut konservasi pohon lokal. Salah-bicara, Ketua RT 03 RW 05 Kampung Gelonggong, Kelurahan Kedung Waringin, Kecamatan Bojong Gede, ini bisa mengurungkan niatnya untuk bekerja sama.
Caping Gunung Indonesia - Siang nan cerah. Seorang bocah lelaki asyik bermain di “hutan” dekat rumahnya. Bersama kawannya, ia main anggar, olahraga adu pedang yang populer era 1980-an, kala itu. Biasanya, untuk membuat pedang, mereka mematahkan batang pohon demi mewujudkan atraksi tersebut.
Udin, bocah delapan tahun itu, mematahkan batang duku di lahan tani ayahnya. Malang, usai permainan, ia dipanggil ayahnya yang marah melihat perbuatannya itu. Sang ayah berang bukan takut rugi materi melainkan ulah Udin yang membunuh kehidupan pohon tak berdosa. Atas tindakannya, Udin dihukum menyiram pohon duku yang selamat dari tebasannya dengan air Sungai Ciliwung.
Tugas ia jalani enam bulan. Jika tidak sempat mengambil air, sang ayah menyuruhnya mencari batang pisang sisa tebasan untuk ditempelkan di akar duku sebagai alternatif sumber air.
“Manusia kalau haus bisa cari air sendiri. Tapi pohon, gak mungkin. Itu perkataan ayah saya saat saya kecil yang terngiang sampai sekarang,” tutur Udin, pegiat konservasi pohon buah lokal di Bojong Gede, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Udin, bocah delapan tahun itu, mematahkan batang duku di lahan tani ayahnya. Malang, usai permainan, ia dipanggil ayahnya yang marah melihat perbuatannya itu. Sang ayah berang bukan takut rugi materi melainkan ulah Udin yang membunuh kehidupan pohon tak berdosa. Atas tindakannya, Udin dihukum menyiram pohon duku yang selamat dari tebasannya dengan air Sungai Ciliwung.
Tugas ia jalani enam bulan. Jika tidak sempat mengambil air, sang ayah menyuruhnya mencari batang pisang sisa tebasan untuk ditempelkan di akar duku sebagai alternatif sumber air.
“Manusia kalau haus bisa cari air sendiri. Tapi pohon, gak mungkin. Itu perkataan ayah saya saat saya kecil yang terngiang sampai sekarang,” tutur Udin, pegiat konservasi pohon buah lokal di Bojong Gede, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Lambat laun, ayahnya berhasil mengajarinya mencintai tumbuh-tumbuhan lokal. Di usia dini, Udin sudah menanam 40 bibit manggis, 8 pohon pete, 5 bibit durian dan 5 bibit melinjo di area Bojong Gede. Upaya pelestarian pohon buah lokal yang secara konsisten ia lakoni hingga sekarang.
Udin menaksir, sudah ribuan pohon buah lokal yang ia tanam dan ia sebarkan ke orang-orang yang meminta. Ia juga hafal nama-nama pohon yang tumbuh di sekitarnya, mulai lobi-lobi (Flacourtia inermis Roxb), gandaria (Boueama crophylla Griff), namnam (Cynometra cauliflora), gowok (Syzygium polycephala), kundong (Garcinia parvifolia Miq), majegau (Desoxylum densiflorum), karendang (Carissa carandas L.), buni (Antidesma bunius), sulatri (Calophyllum soulattri), dan kemang (Mangifera caesia Jack).
Nama-nama di atas mungkin saja asing di telinga kita. Rasanya pun cenderung asam seperti lobi-lobi, kemang, dan gandaria. Tidak populer dan jarang dinikmati, menurut Udin, menyebabkan varietas buah-buahan lokal tidak dilestarikan masyarakat. Belum lagi hilang akibat gempuran pembangunan infrastruktur.
Padahal, menurutnya tak ada yang sia-sia, andai buah-buah lokal itu bisa diolah. “Contohnya, lobi-lobi yang kata orang asam, sari buahnya dijual di Glodok, Jakarta, seharga Rp70 ribu. Tapi di sini? Malah diinjak-injak,” ujar lelaki kelahiran Bogor, 1 Januari ini.
Absennya wawasan warga mengenai buah lokal sering Udin hadapi. Seperti kemang yang namanya diadopsi menjadi nama wilayah di Jakarta Selatan dan Bekasi. Pernah suatu kali ada yang mengira itu nama binatang. Padahal, kemang mirip kiwi, bedanya kiwi berbulu. Jika musim panen, kemang dijual di area Bogor seharga Rp6.000 per kg. Harganya meroket Rp125 ribu ketika dijadikan minuman jus kemasan.
Namun, upaya konservasi yang Udin lakukan sejatinya jauh melebihi nilai ekonomis. Ia berprinsip, pohon-pohon menciptakan keseimbangan ekosistem, memberikan kehidupan mahluk hidup lain seperti fauna yang membutuhkannya makanan dan sarang.
Pemilik nama lengkap Hasanudin ini pun selalu menolak jika diberi timbal balik materi. Ia tak suka dengan pola pikir materialistis, jika sudah menyangkut konservasi pohon lokal. Salah-bicara, Ketua RT 03 RW 05 Kampung Gelonggong, Kelurahan Kedung Waringin, Kecamatan Bojong Gede, ini bisa mengurungkan niatnya untuk bekerja sama.
“Melihat ada orang peduli, merawat pohon lokal untuk tetap hidup, senangnya tak terkira. Tapi jangan hitung-hitungan. Pernah ada yang minta 100 pohon/bibit. Tapi belum-belum bilangnya rugi karena harus keluar bensin untuk ambil pohon tersebut. Saya jadi sungkan, kok mikirnya begitu,” jelasnya.
Udin tidak memiliki jadwal atau program khusus menanam, spontan saja. Di mana ada bibit pohon dan lahan, dia langsung bergerak, baik itu peringatan Hari Lingkungan Hidup, Hari Ciliwung, maupun mulung bibit bersama Komunitas Ciliwung.
Di belakang rumahnya, ada sekitar 400 pohon yang sudah berkembang. Seratus pohon pernah ia sumbangkan untuk proyek pembangunan hutan kota di Senayan, Jakarta Pusat. Lainnya, ia sebarkan ke pembangunan kampung lingkungan dan ruang terbuka hijau yang tersebar di Jawa Barat dan Jawa Tengah.
“Saya yakin ketika kondisi lingkungan baik, dampaknya baik juga untuk seluruh mahluk hidup, termasuk manusia,” ujarnya.
Memberi kehidupan
Udin adalah saksi sejarah perubahan ekosistem di kawasan Bojong Gede. Saat kecil hingga remaja, ia masih bisa melihat burung pemakan udang dan bajing di seputaran Sungai Ciliwung.
Melalui konservasi buah lokal, Udin berharap dapat menyambung kembali mata rantai ekosistem yang putus ini. “Keanekaragaman hayati harus kita pertahankan. Kita tidak boleh egois, ada mahluk lain yang hidup di sekitar kita,” terangnya.
Menurut peneliti Botani dan Ekologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof. Tukirin Partomihardjo, hilangnya pohon buah lokal dan fauna yang mengkonsumsinya akan berdampak domino bagi manusia yang tinggal di lingkungan tersebut. Misalnya, terjadi ledakan populasi fauna tertentu karena fauna yang menjadi predatornya telah migrasi atau mati.
“Katakanlah kalau (buah) gowok-gowok itu dimakan burung, lalu (pohonnya hilang sehingga) burung-burung itu tidak ada atau pergi. Di sisi lain, burung itu memakan hama, tapi karena burungnya pergi akhirnya populasi hama meledak. Dampaknya ke manusia juga,” kata Tukirin kepada Mongabay Indonesia.
Jurnal Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya – LIPI November 2015, menyebutkan ada 226 jenis tumbuhan buah-buahan asli Indonesia dapat dimakan yang sebagian besarnya tumbuh liar di hutan-hutan (184 jenis). Hanya sebagian kecil yang telah dibudidayakan (62 jenis) dan 18 jenis di antaranya merupakan jenis endemik. Sementara itu ada 31 jenis tumbuhan buah yang masuk tumbuhan langka Indonesia.
Diantara 31 jenis itu, kemang masuk dalam daftar low risk versi IUCN 2014. Jurnal itu juga menyebut namnam masuk jenis tumbuhan langka versi Daftar 200 Jenis Tumbuhan Langka Indonesia (200 TLI).
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PKT KR – LIPI) menanam kemang dan namnam bersama jenis lainnya yang termasuk kategori langka di area Kebun Raya Bogor dan Kebun Raya Daerah (KRD). Keduanya juga bisa ditemui di Kebun Plasma Nutfah (KPN) Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI, Cibinong, Jawa Barat.
Bukan nama biasa
Tukirin menjelaskan, definisi lokal untuk buah dapat mengacu region (wilayah), provinsi, pulau, dan site (area). Artinya, sebuah tanaman buah bisa disebut lokal jika habitatnya atau pembudidayaannya hanya di wilayah tertentu, atau pulau dan provinsi tertentu.
Pada kondisi pohon buah di area Bojong Gede, Tukirin menyebut, jenis-jenis tanaman yang dilestarikan Udin dapat dikategorikan pohon buah lokal. Alasannya, pembudidayaannya di wilayah tertentu yaitu Bogor. Habitat pohon tersebut diyakini hanya dapat ditemui di area Jawa Barat saja, seperti gandaria.
Keberadaan beberapa jenis buah lokal, semakin terancam karena juga tergeser oleh buah pendatang yang kualitasnya lebih baik. Seperti halnya jambu kristal yang menenggelamkan jambu klutuk, jenis lokal. “Meskipun secara umum kualitas (lokal) lebih rendah, tapi secara genetik jenis buah lokal bisa dikawinsilangkan. Suatu saat bermanfaat,” jelasnya.
Tukirin kembali mencontohkan, kali ini gandaria. Buah yang memiliki arti ungu (dalam Bahasa Sunda) itu sudah hampir jarang ditemui di Jawa Barat, selain Bogor. Di Bojong Gede tempat Udin bermukim, pohonnya cuma ada satu di area perkuburan.
Buahnya agak bulat dengan diameter 2-5 cm. Saat muda, warnanya hijau dan ketika tua atau matang berubah kuning hingga jingga. Dagingnya mengeluarkan cairan kental, dengan aroma khas menyengat yang rasanya agak asam hingga manis.
Gandaria mulai berbuah Agustus hingga September dan matang pada Desember sampai Januari. Pohonnya bisa mencapai 8 hingga 27 meter. Dari cerita Udin, gandaria banyak diburu pemilik rumah makan khas Sunda sebagai bahan baku sambal.
Gandaria telah ditetapkan menjadi flora identitas Jawa Barat berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 48 Tahun 1989 tanggal 1 September 1989 tentang Pedoman Penetapan Identitas Flora dan Fauna Daerah. Pohon ini juga dijadikan nama daerah di Cilandak, Jakarta Selatan.
Buah lokal lain yang tak kalah menarik adalah kemang. SK Bupati No. 522/185/kpts/Huk/1996 telah menetapkan kemang sebagai flora identitas Kabupaten Bogor.
Kedua jenis buah ini sudah menjadi tanaman yang dikonservasi secara ex situ oleh LIPI. Konservasi itu tertolong juga lewat upaya mikro yang dilakukan Udin di kawasan Bojong Gede. Tukirin menilai, inisiatif warga seperti Udin sangat patut ditiru.
“Adanya kearifan lokal untuk mempertahankan jenis buah lokal sangat lah bagus. Kita perlu merangkul orang yang punya kesadaran tinggi seperti Udin,” tandas Tukirin.#Lilis_cgo
0 comments:
Posting Komentar