Caping Gunung Indonesia - Karlina Supelli, Pendidik sekaligus Pengajar pada Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, mengusulkan tiga strategi dalam menanggulangi terorisme. Usulan tersebut disampaikan oleh Karlina dalam acara diskusi publik yang berjudul “Melawan Ekstrimisme dan Terorisme dalam Negara Hukum dan
Demokrasi (Telaah atas RUU Anti Terorisme dan Perppu Ormas)” pada Selasa, 22 Agustus 2017, yang diselenggarakan di kantor Imparsial, Jalan Tebet IV, Jakarta Selatan. “Pertama-tama itu perlu dikenali, saya menyebutnya, mengenali epistimologi individual. Epistimologi itu kan cara kita berpikir, cara kita merasa,” kata Karlina.
Hal ini disampaikanya karena ia melihat bahwa sampai sejauh ini penanggulangan terorisme selalu mendasarkan dan mengasumsikan bahwa praktik terorisme muncul karena perubahan pemikiran semata. Padahal menurut Karlina, lebih daripada itu proses ide-ide terorisme bisa masuk ialah lewat proses pembentukan relasi emosional antara individu dengan nilai luhur dan apa yang dipercayainya.
Kedua, Karlina mengusulkan bahwa program-program penanggulangan terorisme juga harus memasukkan strategi perubahan secara teologis. Maksudnya, bahwa proses deradikalisasi terhadap terorisme tidak hanya dengan memberikan indoktrinasi soal pentingnya pluralisme, multikulturalisme termasuk nilai pancasila tetapi juga dengan memberikan informasi soal adanya beragam tafsir secara teologis.
“Yang kedua, dekonstruksi teoritisnya tidak diubah, dan ini hanya bisa dilakukan oleh orang-orang sekaliber sodara kita yang mengerti, (seperti) ulama-ulama yang mengerti betul tafsir-tafsir itu beragam,” ujar Karlina.
Usul ketiga, Karlina menyebut bahwa untuk terus memperhatikan penggunaan teknologi informasi termasuk media sosial yang sering digunakan sebagai alat bagi praktek terorisme. Hal ini karena ia melihat bahwa gerakan perlawanan terorisme melalui media sosial hanya berhenti pada tataran simbolik, lewat berbagai gerakan dan deklarasi.
“Padahal mereka ini sudah sampai pada level yang lebih dalam, rekrutmen orang, dan (pencarian) dana, kalau perlu melakukan tindakan kekerasan,” kata Karlina. #nurul_cgo
Hal ini disampaikanya karena ia melihat bahwa sampai sejauh ini penanggulangan terorisme selalu mendasarkan dan mengasumsikan bahwa praktik terorisme muncul karena perubahan pemikiran semata. Padahal menurut Karlina, lebih daripada itu proses ide-ide terorisme bisa masuk ialah lewat proses pembentukan relasi emosional antara individu dengan nilai luhur dan apa yang dipercayainya.
Kedua, Karlina mengusulkan bahwa program-program penanggulangan terorisme juga harus memasukkan strategi perubahan secara teologis. Maksudnya, bahwa proses deradikalisasi terhadap terorisme tidak hanya dengan memberikan indoktrinasi soal pentingnya pluralisme, multikulturalisme termasuk nilai pancasila tetapi juga dengan memberikan informasi soal adanya beragam tafsir secara teologis.
“Yang kedua, dekonstruksi teoritisnya tidak diubah, dan ini hanya bisa dilakukan oleh orang-orang sekaliber sodara kita yang mengerti, (seperti) ulama-ulama yang mengerti betul tafsir-tafsir itu beragam,” ujar Karlina.
Usul ketiga, Karlina menyebut bahwa untuk terus memperhatikan penggunaan teknologi informasi termasuk media sosial yang sering digunakan sebagai alat bagi praktek terorisme. Hal ini karena ia melihat bahwa gerakan perlawanan terorisme melalui media sosial hanya berhenti pada tataran simbolik, lewat berbagai gerakan dan deklarasi.
“Padahal mereka ini sudah sampai pada level yang lebih dalam, rekrutmen orang, dan (pencarian) dana, kalau perlu melakukan tindakan kekerasan,” kata Karlina. #nurul_cgo
0 comments:
Posting Komentar