Caping Gunung Indonesia - Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP), Bambang Budiono Mulyo Sugiarto mengatakan sejarah memiliki peranan penting dalam lahirnya Pancasila. Para pendiri bangsa pun mengandalkan konteks sejarah saat membicarakan masa depan Indonesia dan dasar-dasar negara.
“Mari melihat Indonesia dari perspektif Pancasila. Akan tetapi sebelum kita melihat itu, haruslah memahami sejarah kekinian dari bangsa kita. Karena ketika para pendiri bangsa seperti Bung Karno, Bung Hatta, Radjiman Wedyodiningrat dan para pendiri bangsa lainnya membicarakan tentang masa depan Indonesia dan membicarakan dasar negara. Mereka semua membaca konteks sejarah.
“Mari melihat Indonesia dari perspektif Pancasila. Akan tetapi sebelum kita melihat itu, haruslah memahami sejarah kekinian dari bangsa kita. Karena ketika para pendiri bangsa seperti Bung Karno, Bung Hatta, Radjiman Wedyodiningrat dan para pendiri bangsa lainnya membicarakan tentang masa depan Indonesia dan membicarakan dasar negara. Mereka semua membaca konteks sejarah.
Itulah mengapa sila-sila di Pancasila tidak pernah lepas dari konteks sejarah pada masa pendeklarasian sampai kemudian disahkan dalam Pembukaan UUD 1945,” urai Bambang saat mengisi Ceramah Umum Kesejarahan tentang Memahami Indonesia Melalui Pancasila di Gedung A, Komplek Kemdikbud, Jakarta.
Pancasila, lanjutnya, dianggap sebagai pandangan hidup bangsa yang dapat menjawab tantangan zaman di zaman kemerdekaan Indonesia dan menjadi paradigma kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hanya saja persoalan menjadi besar setelah 19 tahun setelah reformasi Pancasila jarang dibicarakan, didiskusikan bahkan disosialisasikan. Pasalnya, disebutkan Bambang, Indonesia mengalami guncangan-guncangan yang bersumber dari dua jenis fundamentalisme atau paham yang memperjuangan sesuatu secara radikal.
“Yakni fundamentalisme pasar bebas atau neoliberalisme. Pada dasarnya ini adalah proyek kemanusiaan yang akan mengarahkan seluruh masa depan umat manusia berdasarkan nilai-nilai liberalisme dan ekonomi. Di era pasar bebas, manusia yang multidimensi ini mau disederhanakan menjadi homo economicus yakni menempatkan segala sesuatu agar tunduk pada hukum-hukum ekonomi,” lanjutnya.
Oleh karena itulah, masyarakat diharapkan dapat mengembalikan makna yang terkandung dalam Pancasila saat menjalankan kehidupan sehari-hari. Adapun hal tersebut sebenarnya dapat dipahami lewat penjabaran di kelima sila. Seperti halnya di sila kesatu yang menekankan pada ekspresi keimanan yakni berbudaya dengan cara yang beradab, serta mengakui harkat dan martabat manusia yang terkandung di sila kedua.
“Di sila ketiga, persatuan Indonesia bukan hanya mewadahi berbagai suku dan budaya, namun juga menegaskan pentingnya kesatuan dalam keragaman. Sedangkan di sila keempat, yang dipercaya bangsa kita ialah mekanisme permusyawaratan dan perwakilan, bukan kerakyatan yang dipimpin oleh teror dan intimidasi. Terakhir di sila kelima dapat dijadikan perspektif dan menata ulang yang saat ini mengalami pasar bebas,”
Bambang pun berharap ke depannya amalan Pancasila ini dapat diimplementasikan ke berbagai lini kehidupan, termasuk kebijakan pemerintah, di kantor hingga ke pembangunan. “Jadi bukan hanya untuk lingkungan hidup, hak anak, dan sebagainya,” tegas Bambang. #nurul_cgo
Pancasila, lanjutnya, dianggap sebagai pandangan hidup bangsa yang dapat menjawab tantangan zaman di zaman kemerdekaan Indonesia dan menjadi paradigma kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hanya saja persoalan menjadi besar setelah 19 tahun setelah reformasi Pancasila jarang dibicarakan, didiskusikan bahkan disosialisasikan. Pasalnya, disebutkan Bambang, Indonesia mengalami guncangan-guncangan yang bersumber dari dua jenis fundamentalisme atau paham yang memperjuangan sesuatu secara radikal.
“Yakni fundamentalisme pasar bebas atau neoliberalisme. Pada dasarnya ini adalah proyek kemanusiaan yang akan mengarahkan seluruh masa depan umat manusia berdasarkan nilai-nilai liberalisme dan ekonomi. Di era pasar bebas, manusia yang multidimensi ini mau disederhanakan menjadi homo economicus yakni menempatkan segala sesuatu agar tunduk pada hukum-hukum ekonomi,” lanjutnya.
Oleh karena itulah, masyarakat diharapkan dapat mengembalikan makna yang terkandung dalam Pancasila saat menjalankan kehidupan sehari-hari. Adapun hal tersebut sebenarnya dapat dipahami lewat penjabaran di kelima sila. Seperti halnya di sila kesatu yang menekankan pada ekspresi keimanan yakni berbudaya dengan cara yang beradab, serta mengakui harkat dan martabat manusia yang terkandung di sila kedua.
“Di sila ketiga, persatuan Indonesia bukan hanya mewadahi berbagai suku dan budaya, namun juga menegaskan pentingnya kesatuan dalam keragaman. Sedangkan di sila keempat, yang dipercaya bangsa kita ialah mekanisme permusyawaratan dan perwakilan, bukan kerakyatan yang dipimpin oleh teror dan intimidasi. Terakhir di sila kelima dapat dijadikan perspektif dan menata ulang yang saat ini mengalami pasar bebas,”
Bambang pun berharap ke depannya amalan Pancasila ini dapat diimplementasikan ke berbagai lini kehidupan, termasuk kebijakan pemerintah, di kantor hingga ke pembangunan. “Jadi bukan hanya untuk lingkungan hidup, hak anak, dan sebagainya,” tegas Bambang. #nurul_cgo
0 comments:
Posting Komentar