Caping Gunung Indonesia - China menjadi negara dengan peringkat pertama seputar aliran dana gelap di dunia. Kurang lebih, aliran dana gelap di China sebesar US$139 miliar per tahun.
"Itu data yang dirilis Global Financial Integrity (GFI) terakhir pada 2013 lalu," kata Peneliti Senior Perkumpulan Prakarsa, Setyo Budiantoro, di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu, 20 Februari 2016.
Sementara itu, dua negara ASEAN yakni Malaysia dan Thailand menempati posisi yang lebih tinggi dibanding Indonesia. Rata-rata aliran dana gelap di kedua negara tersebut mencapai US$41,9 dan US$19,2 miliar.
"Di tingkat global, selama kurun waktu 2004-2013, aliran dana gelap Indonesia berada di peringkat sembilan," ungkap dia.
Menurut Budi, paska kriris tahun 1998, aliran dana gelap Indonesia terus membengkak sampai puncaknya terjadi di 2007 dengan nilai Rp400 triliun atau setara dengan 10,5 persen nilai Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun itu.
Tahun berikutnya 2008, aliran dana gelap di Indonesia berkurang hampir separuh dari tahun sebelumnya. Sedangkan, kurun waktu 2010-2014, akumulasi aliran dana gelap di Tanah Air mencapai Rp914 triliun.
"Nilainya setara dengan 45 persen pertambahan jumlah uang beredar luas (M2) dalam periode yang sama. Beda dengan uang yang tersimpan di bank (M1)," ujar dia.
Bahkan, dibandingkan dengan nilai PDB nasional, jumlah aliran dana gelap diketahui telah mencapai 2,2 persen. Angkanya hampir menyamai defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2014, sebesar 2,26 persen dari nilai PDB.
Budi melanjutkan, GFI juga mencatat, pada 2013, aliran dana gelap di negara-negara berkembang mencapai US$1,1 triliun. Aliran dana tersebut jumlahnya meningkat dua sampai tiga kali lipat dibanding 10 tahun sebelumnya.
Selama 2004-2013, rata-rata setiap tahun nilai aliran dana gelap di negara-negara berkembang totalnya mencapai US$18 miliar. Artinya, negara-negara berkembang kehilangan sekira US$7,8 triliun selama kurun waktu tersebut akibat aliran dana gelap.
Akibatnya, pertumbuhan aliran dana gelap (illicit financial flow) yang lebih tinggi daripada pertumbuhan ekonomi merugikan perekonomian banyak negara, termasuk Indonesia.
"Aliran dana yang tidak sah ini berpengaruh langsung terhadap kondisi fiskal dan moneter dalam negeri. Penerimaan negara atau pajak menguap, likuiditas keuangan pun dapat tersedot. Sebagian modal untuk mendorong kegiatan ekonomi serta meningkatkan layanan publik hilang," kata Budi.#Lilis_cgo
0 comments:
Posting Komentar