Caping Gunung Indonesia - Saat ini, ketika terjadi sesuatu pada seseorang - entah itu masih usia anak atau sudah cukup dewasa - hampir semua berkomentar “pantas saja, dari kecil dia tidak punya ayah”, “ibunya, kan janda”, atau “ayahnya jarang ada di rumah”. Semua kompak menyalahkan ayah.
Ibu dan ayah, sama penting
Dari beberapa penelitian yang dibaca dan dipelajari Anna Surti Ariani, psikolog keluarga dan anak dari Klinik Terpadu Fakultas Psikologi UI, Depok, figur ibu secara umum lebih ada untuk anak.
“Ini disebabkan sifat nurturing ibu. Ibu cenderung mengasuh, merawat anak, dan menjalin kedekatan mesra dengan anak,” buka Anna yang akrab disapa Nina.
“Walau demikian, jangan mengartikan ayah tidak dibutuhkan. Malah dibutuhkan banget!” imbuh psikolog yang juga praktik di PacHealth, Plaza Indonesia, Jakarta Pusat.
Studi-studi menunjukkan, ketika ayah tidak terlihat, ada beberapa ketimpangan perkembangan yang dialami anak. Namun, bukan bermaksud menyimpulkan ayah lebih penting ketimbang ibu. Peran ibu dan ayah sama penting.
“Anak membutuhkan ibu dan ayah. Bukan salah satu,” Nina menegaskan. Bukan hanya ayah yang secara tradisional berfungsi sebagai pencari nafkah, penyedia segala fasilitas keluarga, pengambil keputusan, atau penanggung jawab keluarga.
“Ayah juga bisa mengambil peran ibu, seperti ikut merawat (memandikan, menggantikan baju, memberi ASI perah, menyuapi, dan lain-lain) dan mengasuh anak (membacakan buku, mengajak bermain, mengajak mengobrol, dan lain-lain) atau mengambil keputusan yang biasanya wewenang ibu, seperti memilih sekolah dan dokter anak,” terang psikolog yang aktif berkicau di Twitter @AnnaSurtiNina.
Beberapa hal, hanya ayah yang bisa
Tentu saja, tidak semua orang beruntung memiliki keluarga yang utuh. Ada saja kejadian ayah atau ibu meninggal di usia muda atau perceraian. Satu atau dua hal yang menyebabkan kondisi tidak ideal untuk tumbuh kembang anak.
“Sebetulnya masih bisa diupayakan yang terbaik,” ujar Nina. Ibu saja atau ayah saja bisa dan anak pun akan baik-baik saja, asalkan ibu atau ayah mampu memberi rasa aman dan nyaman. Bisa dari perawatan, pengasuhan, kasih sayang, perhatian, dan aktivitas yang menstimulasi berbagai aspek perkembangan anak. “Kalau anak mendapatkan ini semua, anak tidak akan kacau, kok kehidupannya.”
Memang ada beberapa hal dari ayah yang tidak bisa digantikan ibu, sekuat apa pun ibu berusaha. Tidak seperti fungsi pencari nafkah yang bisa digantikan ibu, fungsi kehangatan laki-laki atau (maaf) cara pipis berdiri untuk anak laki-laki pun ibu tidak bisa mengajarkan.
“Seperti bercanda, tapi ini benar-benar serius,” bilang Nina.
“Peran gender ibu bisa saja feminin atau bahkan maskulin. Namun pengalaman anak dengan laki-laki tidak bisa diganti oleh ibu. Termasuk hal-hal seperti bagaimana laki-laki memperlakukan perempuan atau bagaimana ayah bekerja sama dengan ibu. Untuk hal-hal semacam itu, harus ada dua orang. Ada perempuan, ada laki-laki. Oleh karenanya tidak bisa digantikan”.#Lilis_cgo
Ibu dan ayah, sama penting
Dari beberapa penelitian yang dibaca dan dipelajari Anna Surti Ariani, psikolog keluarga dan anak dari Klinik Terpadu Fakultas Psikologi UI, Depok, figur ibu secara umum lebih ada untuk anak.
“Ini disebabkan sifat nurturing ibu. Ibu cenderung mengasuh, merawat anak, dan menjalin kedekatan mesra dengan anak,” buka Anna yang akrab disapa Nina.
“Walau demikian, jangan mengartikan ayah tidak dibutuhkan. Malah dibutuhkan banget!” imbuh psikolog yang juga praktik di PacHealth, Plaza Indonesia, Jakarta Pusat.
Studi-studi menunjukkan, ketika ayah tidak terlihat, ada beberapa ketimpangan perkembangan yang dialami anak. Namun, bukan bermaksud menyimpulkan ayah lebih penting ketimbang ibu. Peran ibu dan ayah sama penting.
“Anak membutuhkan ibu dan ayah. Bukan salah satu,” Nina menegaskan. Bukan hanya ayah yang secara tradisional berfungsi sebagai pencari nafkah, penyedia segala fasilitas keluarga, pengambil keputusan, atau penanggung jawab keluarga.
“Ayah juga bisa mengambil peran ibu, seperti ikut merawat (memandikan, menggantikan baju, memberi ASI perah, menyuapi, dan lain-lain) dan mengasuh anak (membacakan buku, mengajak bermain, mengajak mengobrol, dan lain-lain) atau mengambil keputusan yang biasanya wewenang ibu, seperti memilih sekolah dan dokter anak,” terang psikolog yang aktif berkicau di Twitter @AnnaSurtiNina.
Beberapa hal, hanya ayah yang bisa
Tentu saja, tidak semua orang beruntung memiliki keluarga yang utuh. Ada saja kejadian ayah atau ibu meninggal di usia muda atau perceraian. Satu atau dua hal yang menyebabkan kondisi tidak ideal untuk tumbuh kembang anak.
“Sebetulnya masih bisa diupayakan yang terbaik,” ujar Nina. Ibu saja atau ayah saja bisa dan anak pun akan baik-baik saja, asalkan ibu atau ayah mampu memberi rasa aman dan nyaman. Bisa dari perawatan, pengasuhan, kasih sayang, perhatian, dan aktivitas yang menstimulasi berbagai aspek perkembangan anak. “Kalau anak mendapatkan ini semua, anak tidak akan kacau, kok kehidupannya.”
Memang ada beberapa hal dari ayah yang tidak bisa digantikan ibu, sekuat apa pun ibu berusaha. Tidak seperti fungsi pencari nafkah yang bisa digantikan ibu, fungsi kehangatan laki-laki atau (maaf) cara pipis berdiri untuk anak laki-laki pun ibu tidak bisa mengajarkan.
“Seperti bercanda, tapi ini benar-benar serius,” bilang Nina.
“Peran gender ibu bisa saja feminin atau bahkan maskulin. Namun pengalaman anak dengan laki-laki tidak bisa diganti oleh ibu. Termasuk hal-hal seperti bagaimana laki-laki memperlakukan perempuan atau bagaimana ayah bekerja sama dengan ibu. Untuk hal-hal semacam itu, harus ada dua orang. Ada perempuan, ada laki-laki. Oleh karenanya tidak bisa digantikan”.#Lilis_cgo
0 comments:
Posting Komentar