Air ke 1 |
Air ke 2 |
Air ke 3 |
Caping Gunung Indonesia - Ritual Ruwat Sukerta atau membersihkan diri dari nasib sial digelar setiap awal bulan Suro di Pendopo Agung, Trowulan, Mojokerto. Air yang digunakan adalah 7 jenis air suci yang bersumber dari 7 petirtaan situs Majapahit.
Pemangku adat dari Pusat Lembaga Kebudayaan Jawa (PLKJ) Koordinator Jawa-Bali yang memimpin ritual Ruwat Sukerta, Ki Wiro Kadek Wongso Jumerek mengatakan, ada 7 macam air suci yang selalu dipakai untuk ritual siraman tersebut. Yakni air kelapa, air laut tawar, air hujan, embun, sumber tempur, air sendang, serta air sumber dari 7 petirtaan situs Majapahit.
"Yang pertama air kelapa yang kami ambil di Ujung Galuh, Pantai Kenjeran, Surabaya, lokasi itu sebagai pintu masuk ke Keraton Majapahit. Air kelapa kan bersumber dari sari-sari bumi yang naik ke atas, tidak ada kotorannya sama sekali, itu yang disebut air suci. Saya mengambil sendiri dan tidak boleh jatuh ke tanah," kata Kadek kepada detikcom usai acara Ruwat Sukerta 1949 Saka, Jumat (16/10/2015).
Air suci ke dua, menurut Kadek diambil dari Pantai Ngobaran, Gunung Kidul, Yogyakarta dan Petirtaan Panglukan di Bali. Ternyata dibutuhkan ritual khusus untuk mengambil air laut yang tawar itu. Pasalnya, kedua lokasi itu dipercaya sebagai tempat bertapa Raja Brawijaya.
"Ada ritualnya berupa doa dan sesaji, kami permisi ke arwah para leluhur di sekitar situ, mengambilnya pun ada tata kramanya, harus pakai gayung. Di tempat itu dulu Raja Brawijaya bertapa saat akan memeberikan tahta kepada anaknya," ujarnya.
Air suci berikutnya, lanjut Kadek, merupakan air hujan yang pertama kali turun setelah musim kemarau. Menurutnya, air hujan disucikan sebab dianggap sebagai rajanya air di muka bumi. "Air hujan adalah rajanya air atau Tirta Nata, untuk melebur kotoran dalam tubuh harus pakai rajanya air. Kita ambil air pertama hujan di Malang kemarin, kita tampung dengan ember," sebutnya.
Jenis air suci ke 4 yang digunakan untuk ritual Ruwat Sukerta adalah air embun. Tetesan embun pagi itu dikumpulkan dari situs Sumur Upas di Desa Sentonorejo, Trowulan, serta dari Situs Tempuran di Kecamatan Puri, Mojokerto.
"Air embun, kita ambil setelah subuh, sekitar satu minggu lamanya untuk menampung tetesan embun di situs Sumur Upas dan Situs Tempuran, di situs itu ada prasasti Raja Terakhir Majapahit, Giri Swardana Dyah Surya Wikrama atau Bhre Wengker yang didarmakan di lokasi tersebut, tempat itu juga disebut rumah para raja," ungkapnya.
Air suci lainnya berasal dari Sumber Tempur yang juga berlokasi di Desa Tempuran, Kecamatan Puri. Sumber Tempur ini dianggap suci sebab menjadi pertemuan antara Sendang Wadon dengan Sumber Kates.
"Air suci ke enam adalah air sendang. Kami ambil dari Sendang Dewi Kunti di Gunung Arjuna Malang, di sana konon tempat para Dewa berdoa," jelasnya.
Sedangkan air suci ke 7 diambil dari 7 sumber mata air di Trowulan. Antara lain dari Siti Inggil, Petirtaan Hayam Wuruk, Tribuwana Tungga Dewi, Makam Panjang, Putri Campa, Sumur Sakti Gajah Mada, dan mata air dari Sumur Upas di Desa Sentonorejo, Trowulan.
"Ketujuh air suci itu kami campur menjadi satu untuk ritual Ruwat Sukerta ini. Tujuannya supaya yang diruwat pada bulan Suro ini benar-benar bersih jiwanya," tandas Kadek.
Dari tahun ke tahun, Ruwat Sukerta yang rutin digelar setiap awal Bulan Suro di Pendopo Agung, Trowulan ini semakin diminati. Jika tahun lalu jumlah peserta hanya 56 orang, kali ini peserta mencapai 150 orang. Selain dari Mojokerto sendiri, mereka datang dari beberapa daerah. Mulai dari Jombang, Kediri, Nganjuk, Sidoarjo, hingga Surabaya.
Untuk mengikuti ritual Ruwat Sukerta ini, peserta tak perlu membayar. Hanya saja, setiap peserta diwajibkan membawa sehelai kain putih. Secara bergiliran, peserta mulai dari anak kecil hingga orang dewasa berbalut kain putih disiram dengan air suci yang dicampur dengan kembang setaman. Setelah itu, beberapa helai rambut peserta dipotong dan didoakan oleh seorang sesepuh Trowulan.
Lantas apa yang mendorong para peserta mengikuti ritual ini dan apa saja harapan mereka? "Kebetulan saya anak tunggal, dalam adat Jawa harus diruwat supaya mendapat keselamatan dan banyak riski," kata Nandya Paramita (24), salah seorang peserta asal Surabaya.
Hal senada dikatakan Listyowati (36), asal Kecamatan Mojoagung, Jombang. Ibu satu anak ini mengaku ikut Ruwat Sukerta sebab merasa kerap mengalami hambatan dalam usahanya. "Semoga dengan ritual ini, usaha saya diberi kelancaran dan banyak riski," ujarnya.
Usai ritual siraman air kembang, prosesi Ruwat Sukerta dilanjutkan dengan pagelaran Wayang Kulit di dalam Pendopo Agung. Setelah acara berakhir, setiap peserta diwajibkan melarung kain putih yang dipakai saat siraman ke Sungai Brantas atau sungai lainnya. Hal itu dipercaya konon sebagai tanda melepas nasib sial.#Yunia_cgo
0 comments:
Posting Komentar