Teknologi semakin berkembang karna perkembangan teknologi tersebut dikhawatirkan bisa menumbuhkan sikap individualis dan malas pada anak karna terlalu seringnya bermain dengan smartphone yang terdapat permainan modernnya.
Caping Gunung Indonesia - Meski permainan modern bisa merangsang kemampuan kognitif anak tapi pergeseran tradisional ke modern ini dikhawatirkan bisa menumbuhkan sikap individualis dan malas pada anak.
Zaman dahulu, anak-anak sungguh akrab dengan berbagai permainan konvensional semacam petak umpet, gobak sodor ataupun congklak. Sekarang, anak-anak justru lebih senang menghabiskan waktu bermain Angry Birds di depan komputer, ponsel pintar atau tablet.
Teknologi memang kerap mendekatkan yang jauh, pun menjauhkan yang dekat. Hal ini disadari Albertus Wuryanto, wiraswastawan berusia 59 tahun yang telah dikaruniai dua putra.
“Dari kecil, kedua anak saya jarang sekali memainkan permainan tradisional tersebut. Hal itu karena tidak ada cukup ruangan bagi mereka untuk beraktivitas dan bermain bersama. Padahal permainan-permainan tersebut tanpa mereka sadari dapat memperkenalkan sistem social reward and punishment,” ujar Albertus.
Albertus mengatakan sisi negatif dari game modern yang ada saat ini adalah lebih menonjolkan sisi individual anak yang membuat mereka asyik sendiri dengan dunianya. Sementara itu permainan tradisional itu lebih banyak memiliki nilai-nilai yang dapat diambil.
“Contohnya saja permainan petak umpet yang mengharuskan kita untuk bergerak secara cepat ataupun berlari sehingga bisa merangsang saraf motorik yang ada. Hal itu dapat menstimuli perkembangan anak serta membuatnya lebih peduli pada lingkungan sekitar,” ujar Albert.
Dia mengatakan salah satu alasan dia tidak bisa memperkenalkan permainan tradisional seperti gobak sodor dan petak umpet adalah karena tidak ada cukup ruangan bagi mereka untuk beraktivitas dan bermain bersama.
“Padahal permainan-permainan tersebut tanpa mereka sadari dapat memperkenalkan sistem sosial reward and punishment. Hal itu berarti, bila Anda kalah harus siap menerima hukuman, bila menang barulah terbebas dari hukuman itu. Dengan sendirinya mereka akan terbiasa mengikuti rule yang ada dan mentalitas sportif pun dapat terbentuk dengan baik,” kata Albertus kembali.
Rossy Utami, pegawai swasta sekaligus ibu rumah tangga berusia 35 tahun juga memiliki pendapat serupa.
“Bila dibandingkan, permainan zaman dahulu lebih banyak melibatkan anak dalam sosialisasi dan interaksi (dengan lingkungan sekitar). Tidak baik bila anak terus-terusan hanya berada di dalam rumah. Ia harus belajar untuk mengenal dunia luar, tapi dengan pembatasan waktu yang tepat tentunya,” tutur Rossy.
Psikolog anak Seto Mulyadi mengatakan bahwa ‘punahnya' permainan tradisional anak-anak Indonesia disebabkan oleh terbatasnya fasilitas yang ada dan lingkungan yang mendukung terjadinya hal tersebut.
“Ruang bermain yang ada sungguh terbatas. Selain itu, kadang-kadang orangtua sendiri yang memengaruhi anak untuk menganggap bahwa permainan tradisional itu kuno dan tidak menarik lagi,” ucap lelaki yang akrab disapa Kak Seto ini.
Seto pun menambahkan, kelemahan dari game modern yang ada saat ini adalah berpeluang mendorong anak menjadi individualistis karena cenderung sibuk dengan dirinya sendiri.
Kecerdasan kognitif anak memang berkembang pesat, tapi secara moral dan spiritualnya kurang. Kecerdasan motorik juga bisa terkena imbasnya karena anak menjadi malas berkeringat. Bila begitu, risiko obesitas pun dapat menghampiri.
Melihat hal ini, Irma Gustiana, psikolog anak dari Lembaga Psikologi Terapan UI Salemba mengatakan anak-anak harus bisa memperbanyak stimulasi sosial dengan teman sebayanya, yang melibatkan diskusi kerjasama dan kegiatan fisik yang terarah.
“Selain itu, pikirkan dengan matang sebelum memberikan fasilitas alat elektronik pada anak, terutama terkait dengan perkembangan mentalnya seperti menjadi lebih soliter, anti-sosial, malas bergerak, atau hanya terpaku pada teman-teman dunia maya di situs jejaring sosial,” jelas Irma.
Zaman dahulu, anak-anak sungguh akrab dengan berbagai permainan konvensional semacam petak umpet, gobak sodor ataupun congklak. Sekarang, anak-anak justru lebih senang menghabiskan waktu bermain Angry Birds di depan komputer, ponsel pintar atau tablet.
Teknologi memang kerap mendekatkan yang jauh, pun menjauhkan yang dekat. Hal ini disadari Albertus Wuryanto, wiraswastawan berusia 59 tahun yang telah dikaruniai dua putra.
“Dari kecil, kedua anak saya jarang sekali memainkan permainan tradisional tersebut. Hal itu karena tidak ada cukup ruangan bagi mereka untuk beraktivitas dan bermain bersama. Padahal permainan-permainan tersebut tanpa mereka sadari dapat memperkenalkan sistem social reward and punishment,” ujar Albertus.
Albertus mengatakan sisi negatif dari game modern yang ada saat ini adalah lebih menonjolkan sisi individual anak yang membuat mereka asyik sendiri dengan dunianya. Sementara itu permainan tradisional itu lebih banyak memiliki nilai-nilai yang dapat diambil.
“Contohnya saja permainan petak umpet yang mengharuskan kita untuk bergerak secara cepat ataupun berlari sehingga bisa merangsang saraf motorik yang ada. Hal itu dapat menstimuli perkembangan anak serta membuatnya lebih peduli pada lingkungan sekitar,” ujar Albert.
Dia mengatakan salah satu alasan dia tidak bisa memperkenalkan permainan tradisional seperti gobak sodor dan petak umpet adalah karena tidak ada cukup ruangan bagi mereka untuk beraktivitas dan bermain bersama.
“Padahal permainan-permainan tersebut tanpa mereka sadari dapat memperkenalkan sistem sosial reward and punishment. Hal itu berarti, bila Anda kalah harus siap menerima hukuman, bila menang barulah terbebas dari hukuman itu. Dengan sendirinya mereka akan terbiasa mengikuti rule yang ada dan mentalitas sportif pun dapat terbentuk dengan baik,” kata Albertus kembali.
Rossy Utami, pegawai swasta sekaligus ibu rumah tangga berusia 35 tahun juga memiliki pendapat serupa.
“Bila dibandingkan, permainan zaman dahulu lebih banyak melibatkan anak dalam sosialisasi dan interaksi (dengan lingkungan sekitar). Tidak baik bila anak terus-terusan hanya berada di dalam rumah. Ia harus belajar untuk mengenal dunia luar, tapi dengan pembatasan waktu yang tepat tentunya,” tutur Rossy.
Psikolog anak Seto Mulyadi mengatakan bahwa ‘punahnya' permainan tradisional anak-anak Indonesia disebabkan oleh terbatasnya fasilitas yang ada dan lingkungan yang mendukung terjadinya hal tersebut.
“Ruang bermain yang ada sungguh terbatas. Selain itu, kadang-kadang orangtua sendiri yang memengaruhi anak untuk menganggap bahwa permainan tradisional itu kuno dan tidak menarik lagi,” ucap lelaki yang akrab disapa Kak Seto ini.
Seto pun menambahkan, kelemahan dari game modern yang ada saat ini adalah berpeluang mendorong anak menjadi individualistis karena cenderung sibuk dengan dirinya sendiri.
Kecerdasan kognitif anak memang berkembang pesat, tapi secara moral dan spiritualnya kurang. Kecerdasan motorik juga bisa terkena imbasnya karena anak menjadi malas berkeringat. Bila begitu, risiko obesitas pun dapat menghampiri.
Melihat hal ini, Irma Gustiana, psikolog anak dari Lembaga Psikologi Terapan UI Salemba mengatakan anak-anak harus bisa memperbanyak stimulasi sosial dengan teman sebayanya, yang melibatkan diskusi kerjasama dan kegiatan fisik yang terarah.
“Selain itu, pikirkan dengan matang sebelum memberikan fasilitas alat elektronik pada anak, terutama terkait dengan perkembangan mentalnya seperti menjadi lebih soliter, anti-sosial, malas bergerak, atau hanya terpaku pada teman-teman dunia maya di situs jejaring sosial,” jelas Irma.
0 comments:
Posting Komentar