Caping Gunung Indonesia |
Orang yang membuat sesaji dianggap sebagai orang yang tunduk, kalah, dan mau menjadi budak setan. Ini benar-benar opini “sampah” yang telah menyesatkan umat manusia selama puluhan tahun.
Junk Opinion
Ada satu lagi pemahaman salah kaprah yang terlanjur diyakini kebenarannya oleh sebagian masyarakat kita. Akibatnya bisa fatal, apalagi mengenai hal-hal yang berhubungan dengan gaib. Sebab dapat mendiskreditkan kelompok tertentu, atau bahasa kasarnya menimbulkan fitnah. Saya istilahkan sebagai persepsi “sampah”, atau junk opinion. Timbulnya junk opinion ini disebabkan oleh beberapa hal misalnya:
- Kurangnya ilmu pengetahuan dan informasi mengenai suatu hal sehingga menyebabkan penilaian yang salah.
- Tidak memahami secara obyektif, yang disebabkan oleh sikap tidak suka terhadap suatu hal, sehingga menimbulkan penilaian yang tendensius menyudutkan kelompok tertentu.
- Orang tidak mengalami, tidak melakukan, dan tidak memahami suatu hal. Melainkan hanya menerima apa adanya, taken for granted, tetapi buru-buru dianggap sebagai suatu informasi yang benar. Misalnya kita memahami suatu hal tetapi referensinya sangat lemah, hanya berdasarkan cerita dari mulut ke mulut. Atau “katanya”, Jawa: ujare, Sunda : ceunah ceuk ceunah.
- Opini “sampah” dapat berkembang pesat menjadi opini masyarakat (public opinion) apabila didukung oleh kepentingan kelompok (vested interest), kekuatan dan kekuasaan politik melalui media massa menjadi “kampanye hitam” (black champagne) yang bersifat masif. Bentuk-bentuk “kampanye hitam”, entah disadari atau tidak seringkali dilakukan oleh media massa, media elektronik seperti tayangan hiburan dan misteri di beberapa stasiun televisi swasta di Indonesia.
Satu contoh yang akan saya kemukakan pada kesempatan kali ini mengenai opini “sampah” tentang sesaji. Memberikan sesaji dengan serta merta dianggap perbuatan hina, musrik, dosa dengan tuduhan memuja setan. Orang yang membuat sesaji dianggap sebagai orang yang tunduk, kalah, dan mau menjadi budak setan. Ini benar-benar opini “sampah” yang telah menyesatkan umat manusia selama puluhan tahun. Untuk itu masilah kita urai satu persatu tentang rahasia sesaji.
Nilai Esensial Sesaji
Pertama-tama perlu saya berikan eksplanasi singkat tentang Sesaji agar supaya para pembaca yang budiman lebih mudah memahami tulisan saya kali ini. Sesaji berasal dari kata saji. Sajian, sesajian, maknanya sama dengan hidangan. Menyajikan berarti menghidangkan. Sesaji kata benda bersifat tunggal, sedangkan sesajian bermakna jamak atau plural. Sesaji yakni sesuatu yang dihidangkan. Secara umum sesaji dibuat sebagai wujud sedekah. Saya ulangi sekali lagi, sedekah. Sedekah yang dibagikan kepada orang lain. Sedekah dilakukan tidak terbatas pada antar sesama manusia, melainkan bisa dilakukan kepada bangsa tumbuhan, binatang, bahkan makhluk halus sekalipun. Nilai esensial dari sedekah itu sendiri yakni bentuk nyata kasih-sayang atau welas-asih antar sesama makhluk penghuni jagad raya ini. Pemahaman ini sangat penting digarisbawahi untuk membebaskan diri dari cengkeraman opini “sampah” yang telah mengotori otak dan hati kita.
Secara garis besar terdapat tiga (3) macam sesaji yang dibedakan menurut tujuan membuatnya:
1. Bancakan
Bancakan termasuk sesaji ditujukan untuk sedekah terutama kepada sesama manusia. Bancakan dibuat untuk dibagi-bagikan kemudian dimakan oleh orang. Untuk itu bancakan biasanya dibuat dengan aneka rasa yang enak di lidah dan berupa hidangan khusus yang menimbulkan selera makan. Untuk itu membuat bancakan tidak boleh sembarangan melainkan harus dibuat senikmat mungkin agar orang-orang yang kita sedekahi turut puas dan bahagia. Prinsipnya sederhana saja yakni, kalau mau memberikan sedekah, maka berikan sedekah yang sebaik-baiknya kepada orang lain. Jangan pernah berikan “sampah” pada orang lain, yakni apa yang kita sendiri sudah enggan memakannya.
Bancakan dibuat oleh seseorang, kelompok, grup, atau bahkan institusi dengan berbagai tujuan misalnya dalam rangka ritual syukuran, ritual selamatan, atau ritual doa permohonan. Orang yang memahami kebijaksanaan hidup, saat mengekspresikan rasa sukur tidak akan cukup hanya dengan ucapan manis di mulut saja, tetapi mewujudkan rasa sukur itu dalam perbuatan nyata misalnya sedekah. Doa mohon keselamatan, doa permohonan untuk mewujudkan suatu tujuan baik, seyogyanya dibuka dengan sedekah. Karena sedekah merupakan cara terbaik untuk memantaskan diri kita menjadi orang yang layak menerima anugrah.
2. Sajèn Bebono
Sajen merupakan bahasa Jawa dari sesaji. Tetapi istilah sajen lebih familiar untuk menyebut sesaji yang bukan berupa bancakan. Bentuk sajen biasanya tidak selalu berupa hidangan yang enak dimakan. Bahkan kadang berupa bahan-bahan yang tidak enak dan tidak mungkin untuk dikonsumsi oleh manusia. Misalnya minyak wangi, kemenyan, dupa, kunyit mentah, dlingo dan bengle dll. Sajen dalam bahasa kraton lebih familiar disebut sebagai bebono atau pengorbanan atau kurban. Akan tetapi Anda jangan membayangkan “pengorbanan” atau “kurban” berupa tumbal setan yang menyeramkan. Anda jangan membiasakan diri mengikuti paham “sampah” yang sering ditebarkan melalui sinetron dan film-film murahan yang sering beredar di bioskop dan ditayangkan televisi. Seringkali mereka membuat opini yang salah kaprah tapi tidak menyadari hal itu telah meracuni otak masyarakat Indonesia. Keadaan ini sungguh memprihatinkan sekali.
Sama dengan bancakan, bebono juga merupakan sedekah. Tujuannya adalah untuk bersedekah kepada seluruh makhluk sesama penghuni planet bumi. Sebagai manusia yang arif dan bijaksana, manusia yang berkesadaran kosmologis, akan menyadari bahwa hidup di dunia ini selalu berdampingan dengan beragam makhluk hidup, yang kasat mata, maupun yang tidak kasat mata. Manusia juga hidup menumpang di antara benda-benda tidak hidup yang ada di planet bumi ini. Dalam filsafat hidup Jawa, berpijak dari fakta-fakta itu menyadarkan kita bahwa salah satu tujuan utama manusia hidup di planet bumi adalah untuk saling menghormati, saling menghargai, dan saling menyayangi di antara makhluk hidup yang ada. Baik kepada antar sesama manusia maupun terhadap hewan, tumbuhan, dan makhluk halus. Dalam filsafat hidup Jawa, ditanamkan suatu kesadaran kosmologis di mana kita harus menghargai, menghormati, dan memanfaatkan seluruh benda hidup maupun benda-benda tidak hidup dengan cara adil, bijaksana serta penuh kasih sayang. Pada intinya apa maksud dan tujuan dari seseorang membuat sesaji bancakan, sajen atau bebono, tidak lain untuk mewujudkan rasa menghormati, menghargai, rasa syukur dan sebagai expresi sikap welas asih secara nyata kepada seluruh makhluk penghuni planet bumi. Dapat dianalogikan, seperti apa yang dilakukan orang tua yang menyayangi anak-anak tentu mereka akan bersedia mengorbankan tenaga, pikiran, beaya dan waktu untuk membahagiakan anak-anak mereka. Orang tua telah memberikan bebono kepada anak-anaknya. Dalam konteks bebono, pengorbanan atau sedekah sebagai expresi kasih sayang itu lebih difokuskan kepada bangsa halus. Bangsa halus tidak boleh diperlakukan semena-mena. Mereka juga makhluk hidup yang diciptakan Tuhan, untuk mengisi jagad raya ini dalam fungsinya masing-masing sesuai hukum alam (kodrat) yang berlaku. Bangsa makhluk halus diciptakan bukan untuk dianiaya oleh bangsa manusia, melainkan untuk berperan serta dalam tata hukum keseimbangan alam. Sudah selayaknya bangsa manusia yang kata orang sebagai makhluk paling sempurna, maka sempurnakan pula perilaku yang adil dan bijaksana sebagai bagian dari bangsa makhluk hidup yang beradab dan santun kepada alam semesta dan seluruh penghuninya.
3. Sajèn Pisungsung
Pisungsung artinya persembahan. Dalam konteks ini pisungsung lebih difokuskan kepada eksistensi supernatural being, misalnya ancesters atau ancient spirit (leluhur) yakni orang-orang yang telah hidup di dimensi yang abadi. Dalam posting saya terdahulu seringkali saya sampaikan bahwa salah satu kunci sukses kehidupan kita adalah seberapa besar bakti kita kepada kedua orang tua, dan para leluhur kita, hingga leluhur perintis bangsa besar ini. Nah, pisungsung merupakan wujud ekspresi nyata bakti kita kepada para leluhur berupa suatu persembahan. Pisungsung tidak terbatas benda fisik. Bisa juga berupa persembahan melalui lisan misalnya doa, ucapan terimakasih, ucapan sembah pangabekti, hingga persembahan berupa tindakan nyata misalnya ziarah kubur, nyekar, ritual menghaturkan aneka ragam uborampe untuk pisungsung, membersihkan pusara dst. Kita perlu mengenang para leluhur, selain sebagai ekspresi rasa terimakasih dan hormat serta berusaha mengambil sisi positif kehidupan masa lampau orang-orang yang telah mendahului kita sebagai suri tauladan. Pisungsung lazimnya pula berupa minuman dan makanan, benda-benda seperti bunga, minyak wangi yang dulunya disukai oleh orang-orang yang mendahului kita. Atau sesuai tradisi yang berlaku di masyarakat. Dengan demikian diharapkan dapat terhubung tali rasa sih-katresnan antara orang yang memberikan pisungsung dengan leluhur.
Sampai di sini, mudah-mudahan para pembaca yang budiman dapat memahami dengan bijaksana. Dengan memahami nilai luhur filsafat dalam sesaji seperti uraian di atas, diharapkan bagi siapapun yang sedang membuat dan berbagi sesaji dapat menanamkan pola pikir (mind set) yang tepat pula. Sehingga sesaji menjadi lebih besar nilai filsafatnya, dan lebih efektif untuk menciptakan perubahan positif dalam kehidupan kita. Junk opinion telah merusak nilai luhur yang terkandung dalam ritual hatur sesaji. Bahkan membeloknya esensi tujuannya. Bahkan junk opinion telah merusak pola pikir serta mengotori kalbu pelakunya. Jika sudah rusak pola pikirnya, kemudian orang menjadikannya sebagai alasan untuk memojokkan dan menjelekkan tradisi hatur sesaji. Bahkan kemudian melarangnya dengan cara menakut-nakutinya sebagai tindakan berdosa. Entah hal ini akibat kebodohan masyarakat atau memang sebuah usaha sistematis melakukan cultural and ethnic cleansing.
Untuk membantu pemahaman, saya akan berikan beberapa contoh opini “sampah” mengenai sesaji. Yakni pandangan-pandangan, penilaian, perspektif yang salah kaprah menyoal sesaji:
- Sesaji dianggap sebagai bentuk “suap” atau cara untuk merayu mahluk halus, setan dsb agar bersedia membantu manusia. Ini pandangan salah yang paling popular.
- Pandangan salah berikutnya adalah, menganggap manusia yang membuat sesaji sebagai orang yang tunduk-patuh, takluk, bahkan menyembah makhluk halus. Pandangan ini lebih ngawur, makin menjauhkan dari nilai esensial yang sesungguhnya dari sesaji itu sendiri.
- Pandangan berikutnya lebih parah dan lebih ngawur. Yakni anggapan bahwa memberikan sajen akan membuat makhluk halus menjadi ketagihan dan akan menganggu jika orang tidak lagi memberikan sajen.
Bagi saya pribadi dan sejauh yang bisa saya saksikan sendiri, fakta-fakta di atas merupakan suatu fakta yang jelas dan apa adanya. Walau apa yang saya saksikan sulit untuk disaksikan pula oleh orang lain, tetapi setidaknya apa yang saya sampaikan dapat memenuhi kaidah logika atau penalaran yang sehat.
Sesaji Sebagai Harmonisasi Dengan Alam
Sub judul di atas merupakan falsafah Jawa tentang prinsip dasar yang melandasi tindakan seseorang untuk memberikan sesaji atau sedekah. Tetapi akibat kurangnya pemahaman tentang sesaji, hal itu menimbulkan stigma, yakni penilaian negative dan pemahaman yang melenceng jauh dari prinsip dasar, pengertian, maksud dan tujuan sesaji itu sendiri. Kadang muncul stigma sangat tendensius yang menghakimi tindakan memberikan sesaji. Padahal dalam upacara sesaji sesungguhnya memiliki nilai luhur kearifan local masyarakat Indonesia. Tindakan destruktif, brutal dan tidak bertanggungjawab kadang dilakukan sekelompok orang dengan mengatasnamakan pembelaan Tuhan. Itu terjadi karena orang tidak tahu jika dirinya sedang tidak tahu, tidak sadar jika dirinya sedang terbenam dalam ketidaksadaran yang sangat membius.
Seperti telah saya singgung di atas bahwa sesaji merupakan usaha untuk berharmoni dengan hukum alam. Penjelasan singkatnya begini, seseorang memberikan sedekah kepada beragam kehidupan yang ada di lingkungan sekitarnya. Sedekah ini merupakan artikulasi nyata dari kesadaran manusia untuk saling menjaga kelestarian alam, menjaga keharmonisan dan kelangsungan ekosistem dan lingkungan hidup. Rasa welas asih menjadi pondasi melakukan sedekah sesaji. Itu disebut pula urip (hidup) yang murup (menyala), atau hidupnya berguna untuk seluruh kehidupan di planet bumi. Jangankan menyakiti apalagi membunuh orang lain yang beda pendapat, mengumpat dan meledek pun tidak dilakukannya. Perbuatan demikian itu jelas merupakan tindakan melawan hukum alam. Cepat atau lambat pasti akan tergulung oleh mekanisme hukum keadilan alam.
Tingkatan Sesaji
Sesaji atau sedekah jika mengacu pada kualitasnya, sifatnya bertingkat-tingkat. Dari sesaji yang levelnya paling sederhana (rendah) hingga paling lengkap (tinggi). Dengan demikian, sesaji bukanlah sesuatu yang memberatkan. Tetapi dapat disesuaikan menurut kemampuan masing-masing orang. Orang mau pilih yang sederhana dan ringan atau yang lengkap, yang penting setiap bersedekah atau bersesaji harus dilakukan dengan tulus ikhlas. Jika terpaksa jangan melakukannya. Efeknya pun berbeda tergantung seberapa tinggi kualitas sesaji atau sedekah yang diberikan.
Sesaji sebagai bentuk kebaikan pasti menimbulkan efek getaran energy positif yang memancar ke segala penjuru. Besaran energy ini ditentukan seberapa besar kualitas sesaji yang diberikan. Energy positif akan beresonansi kemudian membangkitkan energy positif yang berlipat ganda, dan sebaliknya energy negative akan meresonansi kemudian menimbulkan energy negative yang berlipat ganda pula. Oleh sebab itu bagi siapapun yang akan memberikan sesaji hendaknya niat dan pikiran sudah disetel secara tepat semenjak proses membuat sesaji dimulai. Di situlah saat paling menentukan apakah sesajinya akan menghasilkan respon positif atau malah sebaliknya. Kuncinya terletak pada pengorbanan, persembahan, dan ketulusan yang ditujukan kepada orang-orang, mahluk hidup dan lingkungan yang kita hormati dan sayangi.
Demikian tadi uraian singkat mengenai sesaji. Semoga tulisan ini dapat membantu para pembaca yang budiman untuk memahami seluk-beluk sesaji secara proporsional dan bijaksana.
0 comments:
Posting Komentar